33. BENCI

24.3K 3.7K 362
                                    

🎼 [Amanojaku] 🎼

🌙

Detik terus merangkak maju tanpa belas kasihan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Detik terus merangkak maju tanpa belas kasihan.

Selama hampir dua jam, aku hanya mematung duduk di tepi ranjang, sembari menatap kosong ke depan. Tidak bergerak walau sesenti pun.

Aku meminta semua pelayan untuk keluar dari kamar, termasuk Lyra.

Rasanya seperti menjadi orang gila. Diam, menangis, diam, lalu menangis lagi setiap mengingat kembali memori itu.

Al membunuh kedua orang tuaku?

Selama ini Al membohongiku? Semua tindakan manis itu hanyalah tipu muslihatnya?

Aku mengepalkan tangan kencang, menahan isak. Sedih, takut, kecewa, dan marah bercampur menjadi satu. Sekuat apa pun aku menyangkal, garis-garis cokelat yang muncul berulang kali itu terus menampilkan gambar yang sama. Al, lelaki bertanduk dengan pedang di tangannya, menatap dingin dan keji pada aku dan kedua orangtuaku.

Entahlah apa yang kutangisi. Sedih karena mengetahui fakta bahwa kedua orang tuaku sudah meninggal. Atau karena tahu bahwa tindakan Al selama ini tak lebih dari lakon, rencana dia untuk membunuhku juga. Perasaan Al hanyalah sandiwara, atau bahkan harapan belakaku? Hal ini membuat dadaku semakin terasa sesak.

Aku merasa bodoh.

Selama ini lelaki iblis itu pasti sedang menertawaiku. Ia pasti puas karena berhasil memperdayaku.

Mata sembabku menyorot lurus ke depan. Lucu sekali, aku sampai melihat sosok Al sedang berdiri di sana.

"Gadis manusia."

Aku tersentak. Aku bukan berhalusinasi, melainkan Al memang berada di kamarku entah bagaimana caranya.

"Kau sudah sadar," gumam Al terdengar cukup jelas di telingaku.

Dengan cepat aku menghapus bercak air mataku, buru buru berdiri. Jendela kamarku tampak terbuka, pasti Al masuk dari sana.

"K-kau ngapain di sini?" ucapku dengan suara tertahan. Aku bahkan tidak terpikirkan untuk memanggil pengawal.

"Jangan berisik," ujar Al. Dia lantas menelisik wajahku yang sembab. "Seseorang menyakitimu?"

Aku terdiam. Mengulum bibir dalam dalam tanpa berani menatap Al.

Al yang tahu aku tak akan menjawab lantas menjulurkan tangannya padaku. "Aku akan membalaskan sakit hatimu. Kemarilah, kita pulang."

Sungguh, mendengar ucapan lembutnya benar-benar membuat hatiku teriris.

Bagaimana bisa dia setega itu untuk melanjutkan sandiwara sampah ini?

Aku bungkam, tak sanggup untuk menjawab.

AGRHANA [tamat || terbit]Where stories live. Discover now