23. MILIK AL

29.6K 4K 124
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku tetap memilih untuk tinggal, duduk di bawah pohon yang rindang seorang diri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku tetap memilih untuk tinggal, duduk di bawah pohon yang rindang seorang diri. Matahari masih terik dan tidak ada yang perlu kutakutkan.

Aku tidak akan mengikuti perintah lelaki dingin nan menyebalkan itu. Jika memang akan ada hewan buas yang datang, tidak mungkin Al meninggalkan kudanya di sini. Karena itu pasti akan menjadi mangsa empuk.

Kuda coklat itu tetap berdiri manis dan tak berpindah ke mana pun walau tidak diikat seolah sudah terlatih.

Aku mengambil asal dedaunan kering di tanah, lalu menerbangkannya. Ketika daun itu jatuh, aku kembali menerbangkannya. Melakukan analisis sederhana perbandingan pengaruh tekanan yang didapat daun kering dengan daun segar. Dihubungkan sedikit dengan rumus Fisika. Walau tidak akurat, setidaknya ini ampuh untuk mengusir kebosananku.

Terlebih saat ini matahari begitu terik. Alam seolah tidak memberikanku kesempatan untuk mencari jalan pulang.

Aktivitasku terhenti saat mendengar suara semak dan dedaunan kering yang terinjak. Apa Al sudah kembali?

Dua pria muncul dibalik semak semak. Bapak yang satu bertubuh bongsor, memiliki brewok, juga ada sabit di tangannya. Dan pria satunya lagi memiliki perawakan lebih kurus tinggi namun tetap kekar. Ia mengenakan topi, juga membawa busur panah. Dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka adalah warga Helios yang sedang berburu.

Awalnya aku tidak peduli, namun aku sontak berdiri ketika kedua pria itu berjalan kemari.

Pria dengan tubuh kurus berseru seraya menepuk pundak temannya keras. "Wah! Lihatlah apa yang kita temukan, Artur!"

Bapak brewok itu melempar senyum mengerikan padaku. Dia pasti yang namanya Artur. "Kau tersesat di hutan ini, Nona Manis?" Dia mengusap dagunya.

"Tidak, aku baik baik saja." Aku menatap keduanya waspada.

"Oh, ayolah. Kami hanya berniat baik." Temannya menyaut. Dan itu adalah ancaman.

"Menjauhlah," tegasku.

"Ikutlah bersama kami, ya, heh?" Daguku tiba tiba dicolek oleh si pria brewok.

"Lepaskan!"

"Rambutmu sangat indah Nona. Seperti rambut kaum berdarah biru. Putih, bersih, halus, dan tentunya harum." Lalu keduanya tertawa, pelecehan.

AGRHANA [tamat || terbit]Where stories live. Discover now