chapter 34

656 152 5
                                    

"Gimana kalau kamu pindah tempat duduk?" Ujar Saga saat kami dalam perjalanan menuju sekolah.

"Kemana?"

"Tukar sama anak lain."

"Nggak. Nggak perluh." Jawabku, "Tadi malam Helen telepon aku kok, Saga."

Raut wajah Saga seketika berubah kasar dan rahangnya mengeras kaku, "Dia ngomong apa?"

Pelan-pelan aku menceritakan pembicaraanku dan Helen kemarin di telepon sebelum melanjutkan berkata, "Helen juga minta maaf."

Saga langsung tertawa ngejek.

"Helen nggak sejahat yang Saga pikir kok."

Mendengar jawabanku, Saga langsung menyeringai jengkel. Selama beberapa detik kemudian Saga hanya terdiam menatap serius jalan raya di hadapannya sebelum tiba-tiba ujung jemarinya memberi isyarat supaya aku mendekatkan wajahku ke wajahnya.

"Kenapa?" Tanyaku, tepat ketika itu Saga mengecup kening kepalaku, membuatku reflek memundurkan kepalaku dengan cepat sambil menangkupkan kedua telapak tanganku di pipi, malu.

"Kalau ada apapun, cerita. Jangan di simpan sendiri."

"I..iya." aku menggigit bibir dengan pipi seperti terbakar, "Tapi Saga nggak bakal bosen kan denger ceritaku?"

"Nggak. Aku suka dengar suaramu." Jawab Saga, "Juga jangan lupa, ibumu titip kamu ke aku."

"Nggak usah di anggap serius. Ibuku memang suka begitu. Dari kecil ibuku selalu minta semua temenku jagain aku."

"Aku ngelindungi kamu bukan cuma karena pesan ibumu." Bantah Saga dengan raut serius, "Tapi karena memang kamu orang pertama yang ingin aku lindungi, daridulu, sejak pertama kali aku lihat kamu, Johan."

"Tapi sampai sekarang Saga nggak pernah bener-bener cerita sejak kapan tepatnya Saga kenal aku." Bisikku gugup sementara jantungku mulai berpacu.

"Karena aku nunggu sampai kamu bener-bener ingat." Jawab Saga santai, "Tapi kayaknya kamu bener-bener nggak ingat sama sekali."

"Maaf." Aku menundukan kepala salah tingkah sekaligus merasa bersalah, "Maaf ya Saga."

"Nggak perluh minta maaf, wajar kamu nggak ingat. Karena mungkin kamu juga nggak sadar aku ada di dekatmu waktu itu." Saga mengetuk-etukan jemarinya di setir mobil sambil menghela nafas

"Awal kelas tujuh, aku jalan di dekatmu. Waktu kamu dan Lintang jalan menuju halte. Waktu itu hujan. Kamu sepayung berdua dengan Lintang. Aku tau itu payungmu, kamu ngeluarin payung itu dari dalam tasmu. Kamu pakai payung itu berdua, tapi bajumu basah separuh sementara Lintang enggak. Kamu lebih milih mayungin temanmu daripada dirimu sendiri."

"Kamu selalu ngalah. Selalu mentingin orang lain di atas kepentinganmu. Sementara kamu nggak merhatiin dirimu sendiri."

"Waktu kegiatan ekstra, kamu selalu ngasih anak lain kain kanvas yang paling bagus, sementara kamu ngambil kain kanvas yang paling jelek. Kamu selalu milih duduk di tempat yang jauh dari objek lukisan padahal yang lain berebut duduk di tempat paling enak, paling dekat. Kamu diam kalau ada anak lain nyerobot antrianmu."

"Kamu nggak pernah protes. Nggak pernah cemberut, nggak pernah ngeluh. Aku MEMANG NGGAK SUKA ngeliat orang yang kelihatan lemah. Tapi disaat yang sama, aku suka caramu bicara. Caramu ketawa. Caramu bersikap. Aku juga nggak akan pernah lupa, wajahmu di bawah payung saat hujan waktu itu."

"Jadi, karena Lintang juga, Saga merhatiin aku..." Bisikku. Nafasku tertahan sementara jantungku berdetak sangat keras sampai aku takut Saga bisa mendengarnya.

Saga tiba-tiba tertawa ngejek, "Ya. Itu juga salah satu alasan kenapa, aku mau ikut sandiwaramu konyolmu pura-pura ketemu Lintang di mal, di bioskop. Karena aku nggak suka hutang budi. Karena Lintang juga salah satu alasan kenapa aku  beruntung bisa kenal kamu, Johan."

Dunia Jo (Completed)Where stories live. Discover now