Part 45

567 115 5
                                    

Aku berjalan pelan, lambat, sedikit gemetaran. Sejauh ini seluruh bagian tubuhku aman. Nggak ada yang memar, berdarah atau retak. Sama sekali secara fisik. Sayangnya secara mental; nggak begitu. Aku nggak merasa baik-baik aja.

Untungnya aku masih ingat jalan keluar dari perumahan rumah Yano. Untungnya lagi, jarak yang kutempuh dengan jalan kaki tidak begitu jauh. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai di halte bus terdekat. Aku menghela nafas lega karena halte bus kosong. Lega karena aku nggak bakal jadi bahan tontonan. Langitpun sedikit gelap mendung jadi tidak banyak pejalan kaki.

Hal pertama yang kulakukan selanjutnya adalah membuka handphone. Seperti yang kukira, handphoneku penuh pemberitahuan panggilan tak terjawab. Bukan cuma dari Saga, tapi juga dari ibuku, Abimayu, Novietta, Ellie, May. Orang-orang yang peduli padaku tapi kadang tidak betul-betul kusadari dan kusyukuri.

Tepat ketika aku berpikir untuk menelpon balik Saga, handphoneku berdering lebih dahulu. Nama Saga tertera besar-besar, deringan itu memunculkan perasaan bahagia sekaligus was-was.

Telepon dari Saga singkat, Saga menanyakan keadaanku dan memintaku untuk menshare lokasiku segera saat ini juga. Akupun menjawab dengan cukup kalem. Biasa aja. Seakan tidak ada apa-apa.

Lalu, aku yang tadinya berekspektasi seenggaknya Saga baru muncul minimal empat puluh lima menit kemudian karena jarak rumah Yano dengan sekolah memang jauh, terkejut karena mobil Saga tiba-tiba sudah berhenti di samping halte hanya dalam waktu sekitar sepuluh menit.

Saga muncul dari dalam mobil. Wajahnya sedikit pucat dan rambutnya basah berantakan keringat. Tatapan mata Saga langsung tertuju padaku.

Aku yang masih dalam posisi duduk di salah satu kursi halte hanya bisa menoleh kemudian tersenyum meringis. Kontras dengan ekspresi pedih Saga saat menatapku. Kami mematung bertatapan selama sepersekian detik.

"Johan?" Saga berjalan mendekat dan si setiap langkahnya, ekspresi wajah Saga semakin terluka. Seperti melihat anak kucing kotor, kecil, terluka, kelaparan di pinggir jalan.

Aku tersenyum makin lebar, hingga mataku membentuk lengkungan lucu, tertawa kecil dan berharap pipiku tampak lebih merona, "Aku nggak kenapa-napa Saga. Beneran."

"Aku tau kamu bakal ngomong begitu."

"Tapi aku memang nggak kenapa-napa."

Saga memincingkan mata.  Tatapannya seakan menguliti ku hidup-hidup dari atas kebawah. Membuatku malu sendiri. Aku nggak tau tampangku sekarang bagaimana. Atau apa wajahku sekarang benar-benar memenuhi standar kualifikasi baik-baik saja di mata Saga. Yang aku tau cuma bauku. Bauku kayak tong sampah.

Setelah sepersekian detik yang terasa berjam-jam, akhirnya Saga berkata, "Ayo pulang Johan."

Aku buru-buru menggelengkan kepala, "Aku naik ojek online aja, Saga."

Saga kembali mendelik kesal, "Kenapa?"

"Aku bau...." Jawabku nyaris berbisik saking malunya.

Kemudian segalanya berlangsung dengan cepat. Saga melepas kemeja seragamnya. Walaupun aku tau Saga biasa memakai kaus putih di balik bajunya tetap saja aku sempat melompat kaget, "Pakai kemejaku." Saga memakaikan kemejanya ke badanku sambil melanjutkan berkata, "Aku pernah bilang, aku butuh selalu ngelindungi kamu, Johan. Apa itu kurang jelas?"

Dunia Jo (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang