Part 41

480 112 3
                                    

Aku menyipitkan mataku berkali-kali. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat pagi ini begitu aku bangun dari tidur. Pesan dari Helen di handphoneku. Pesan itu singkat, dikirim di jam tiga malam. Isinya; aku benci kamu. Cuma itu. Tiga kata.

Benci. Kata itu jarang kudengar. Bagiku sendiri, aku jarang menggunakannya. Karena bagiku itu kasar. Aku punya beberapa hal yang tidak kusuka, tapi aku tidak mengatakan benci. Kata itu seperti mengungkapkan sebegitu tidak suka nya. padahal di dunia ini bagiku, nggak ada yang pantas untuk benar-benar nggak disukai.

Aku menghela nafas. Meletakan handphone kemudian segera beranjak dari tempat tidur. Aku nggak apa-apa. Bisa saja Helen salah kirim. Karena Helen mengirimkan pesan itu di jam tiga pagi. Jam orang mengantuk.

Ketika aku sampai di sekolahpun. Helen bersikap biasa aja. Ia menyapaku. Tetap duduk di sampingku. Tetap ketawa-ketawa seperti biasa. Aku diam keheranan, apa Helen bener-bener nggak sadar? Atau nggak tau?

Jadi aku duluan lah yang mengangkat handphoneku dan menunjukan pesan itu pada Helen, "Ini kamu sungguh-sungguh ngirim ke aku?"

Mata Helen terbelalak kaget kemudian ketawa, "Aduuuh! Ya ampun aku salah kirim Jo."

"Oh...." jawabku tidak jelas dan sebelum aku sempat menjawab, tiba-tiba aku mendengar namaku di panggil dari depan kelas.

Aku menoleh kedepan, Pak Rendra, guru seni rupaku melambaikan tangan pelan kearahku menyuruhku berjalan kedepan, ke meja guru.

Ini hal nggak biasa. Guru seni rupaku hampir nggak pernah memanggil siapapun untuk maju kedepan. Apalagi menyuruhku yang bukan ketua atau sekretaris kelas untuk mengikuti beliau membawa setumpuk buku gambar ke ruang guru.

Instingku kali ini nggak salah. Karena beliau langsung menyuruhku duduk di hadapan beliau begitu aku sampai di meja beliau di ruang guru.

"Kita langsung ke inti ya?" Pak Rendra melipat tangannya di atas meja dengan gaya formal, "Saya tau, hampir semua tugas senirupa anak satu kelas bahkan mungkin banyak anak satu angkatan, itu ada campur tangan mu."

Aku terpaku sesaat sebelum mengangguk canggung, "Iya." Jawabku jujur. Nggak ada gunanya berbohong. Toh aku nggak pandai berbohong.

"Kamu bahkan buatin beberapa tugas dari mereka kan?" Pak Rendra menghela nafas, wajah beliau tidak marah tapi lebih ke khawatir, "Saya tau. Goresan tanganmu khas. Bentuk gambarmu gampang saya kenali. Saya sudah tau dari lama kalau kamu bantu tugas mereka, cuma saya biarkan."

Aku semakin membeku malu dan cuma satu kata yang bisa keluar dari mulutku, kata maaf.

"Nggak usah minta maaf." Pak Rendra mengibaskan tangannya, "Kamu bantu mereka kayak gitu, kamu minta bayaran nggak?"

Aku tersentak kaget dengan pertanyaan pak Rendra, "I...iya, pak."

"Kamu butuh uang?"

"Untuk dana kuliah saya. Saya nggak mau ngerepotin ibu saya."

"Hmm." Pak Rendra mengelus dagunya sambil bergumam tidak jelas, "Sebetulnya saya juga ngelakuin hal yang sama denganmu di masa sekolah. Sebagai orang lain, saya bilang itu yang seharusnya kamu lakukan, jangan hargai karyamu, bakatmu dengan harga murah apalagi gratis. Tapi sebagai seorang guru saya tidak suka. Karena murid saya yang lain jadi semakin malas nggak mau berusaha."

"Tapi saya juga harus minta maaf, karena saya tidak tegas dari awal dan membiarkan kamu ngelakuin itu dari lama." Pak Rendra memandangku cukup lama sebelum beliau menghela nafas panjang, "Jangan di lakukan lagi ya?"

"Iya pak." Aku mengangguk buru-buru. Tenggelam dalam rasa bersalah yang tidak menyenangkan, sambil terus menerus berkata maaf.

"Ya. Saya maafkan. Tapi guru BK nggak akan sekedar mau dengar maafmu." Lanjut pak Rendra, wajah beliau semakin khawatir, "Saya nggak tau siapa yang memberi tau guru BK soal ini. Guru BK tidak menyampaikan apa-apa ke saya. Saya nggak begitu paham tentang sanksinya, tapi saya tau menjadi joki tugas di sekolah ini hukumannya nggak ringan."

"Saya memanggil kamu kesini sebelum kamu di panggil guru BK bukan untuk memarahi kamu. Saya nggak bakal marah. Saya yang malah harusnya minta maaf karena acuh dan pura-pura tidak tau selama ini."

Detik itu, tanpa sadar aku mendongakkan kepala menatap Pak Rendra yang tersenyum menyesal padaku, "Karena setiap saya lihat kamu sekarang, saya kayak melihat saya yang dulu."

Dunia Jo (Completed)Where stories live. Discover now