Part 46

589 133 12
                                    

Aku mencengkram kancing kemeja Saga yang kupakai untuk menutupi baju kemejaku, cukup erat. Berharap cengkraman ku bisa sedikit menghilangkan aroma tidak enak yang menguar dari rok seragamku juga. Walaupun itu mustahil. Sedikit berkurang, mungkin. Tapi jelas tidak menyembunyikan semuanya.

Hebatnya, Saga sama sekali tidak bereaksi. Dia menyetir mobilnya tanpa kelihatan mual sama sekali. Padahal bau mobilnya sekarang... Luar biasa.

"Saga?" Panggilku gugup.

Saga menolehkan wajahnya sedikit, menarik jemariku kemudian menciumnya dengan wajah gusar.

"Uhh... Saga jangan naik mobil kenceng-kenceng lagi ya?"

"Apa sekarang aku ngendarai mobilnya terlalu cepat buatmu?" Tanya Saga sambil meletakkan jemari ku di pangkuannya.

"Nggak, nggak." Aku menggeleng, "Tapi yang tadi."

"Tadi?" Ulang Saga.

"Maksudku, Saga sampai di halte tempatku duduk cuma sepuluh menit dari sekolah. Padahal kan jauh."

"Aku kesana bukan dari posisi masih di sekolah."

Aku mengerutkan kening, "Terus darimana?"

Saga mendengus, "Satpam sekolah bilang, dia lihat kamu naik mobil dengan Yano. Mobil Yano belok ke arah barat, di jalan satu arah begitu keluar dari sekolah. Arah barat itu sesuai dengan lokasi belakang plat mobil Yano."

Aku mengerjapkan mata. Bingung sendiri dengan kata-kata Saga yang bagiku sulit di cerna, "Maksud Saga?"

"Huruf di belakang nomor plat mobil Yano, UQ. Itu artinya wilayah tempat tinggal Yano ada di sekitar sini. Daerah Gaharu. " Jawab Saga perlahan namun mendadak rahangnya mengeras dan ia menggertakan gigi jengkel, "Jadi kemungkinan besar kamu bisa aja disini, di sekitar wilayah rumah Yano."

Aku mengangguk malu karena bisa-bisanya aku lagi-lagi meremehkan tingkat intelegensi Saga. Saga bahkan hafal nomor plat mobil Yano dan bisa menebak dimana kira-kira rumah Yano hanya dari plat mobilnya. Jadi kalau Saga langsung tau tanpa kuberitau kalau aku tadi memang ke rumah Yano, itu nggak aneh lagi, "Jadi daritadi Saga sudah ada di daerah sekitar sini?"

"Ya." Geram Saga.

"Apa ada yang bilang ke Saga kalau aku pergi dengan mobil Yano selain pak satpam?"

"Kamu jalan ke parkiran mobil dengan rombongan orang idiot begitu, siapa juga siswa yang nggak bakal merhatiin?"

Aku menggigit bibir, kini aku makin faham kenapa Ellie, Novietta, May dan Abimayu juga tau-tau bolak-balik menelponku, "Ibuku tadi pasti ngehubungi Saga."

"Wajar kalau ibumu khawatir Johan."

"Tapi aku nggak bilang ke beliau kalau aku pergi dengan Yano."

"Tapi kamu bilang kamu pergi dengan Helen kan?" Potong Saga galak, "Kamu ngeremehin insting ibumu."

"Maaf." Aku menunduk malu, "Maaf kalau aku pergi tanpa bilang ke Saga. Bikin Saga khawatir. Buat ibuku panik. Tapi aku nggak apa-apa kok. Beneran. Yano, Bella, Helen nggak ngelakuin apa-apa."

Mendengar jawabanku, Saga mendadak menghentikan mobilnya ke bahu jalan. Begitu mobil terparkir, lagi-lagi aku di tatapi tajam menguliti oleh Saga, "Kamu pikir, aku nggak bisa nebak?"

Aku meringis panik, "Aku cuma diajak ke rumah Yano. Di mobil dimuntahin susu. Di lempar kentang sama di siram sirup. Habis itu aku pamit pulang."

"Dan kamu masih bisa bilang kamu nggak apa-apa?"

"Tapi aku memang nggak apa-apa. Aku... nggak luka, sama sekali."

Jawabanku sukses membuat buku-buku jari Saga memutih tegang hingga otot lengannya bermunculan, "SETELAH SEMUA YANG MEREKA LAKUIN, KENAPA KAMU TETAP NEKAT PERGI? KENAPA BERTINDAK SEMBRONO?! APA KAMU NGGAK TAKUT MEREKA BISA AJA NGELAKUIN HAL LAIN YANG LEBIH JAHAT LAGI?!"

"Aku takut." Jawabku jujur, "Tapi kalau aku terus-terusan menghindar. Kapan masalahku dan Yano selesai?"

Mata Saga berkilat mengancam, "Apa tadi kamu BALAS apa yang mereka semua lakuin? Atau cuma diam aja?"

"Nggak. Aku nggak bisa balas ngelakuin hal yang sama." Jawabku jujur, "Soalnya aku kalah jumlah, Saga. Kalau aku balas ngelempar kentang terus aku di balas di lempar TV sama Yano gimana?" Tambahku sambil memberanikan diri untuk mendongakkan wajahku, menatap wajah Saga lebih dekat sambil meringis mirip bayi, "Tapi aku janji nggak akan ngelakuin ini lagi. Saga percaya kan?"

Saga menghela nafas berat, kehabisan kata-kata dan mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Apalagi kalau ku balas, masalahnya juga nggak akan pernah selesai." Kataku, lalu mulai menceritakan kejadian tadi dengan lebih rinci.

Setelah mendengar ceritaku, Saga berhenti mengacak rambutnya untuk memandang mataku dalam-dalam cukup lama. Sebelum ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat padaku dan berkata, "Suatu saat nanti, kamu bakal jadi ibu yang luar biasa."

Aku bengong sesaat mendengar jawaban Saga yang nggak nyambung,  "Huh?"

Perlahan raut marah Saga mengendur, "Caramu bersikap, sifatmu, sabarmu. Semuanya."

"Ngg...." Aku menggigit bibir semakin gugup dibawah tatapan mata Saga yang hanya berjarak beberapa jengkal dari mataku, "Aku nggak nyangka Saga ngomongin soal masa depan denganku."

Saga sontak mendengus tertawa, dan sorot matanya sedikit melembut, "Memang kenapa?"

"Apa aku bisa tetap bareng Saga, sepuluh, dua puluh tahun lagi?"

"Harus." Jawab Saga, "Karena aku nggak akan mungkin nemuin anak perempuan lain yang seperti kamu lagi."

Dunia Jo (Completed)Where stories live. Discover now