Part 40

654 127 14
                                    

"Saga kok bisa tau aku disini?" Tanyaku ketika melihat Saga perlahan berjalan masuk kedalam kelasku yang kosong.

"Karena setelah kejadian tadi, kamu pasti pergi untuk duduk di tempat yang sepi." Gumam Saga saat ia sudah berdiri disamping kursiku.

"Tapi gimana kalau ternyata tadi aku milih untuk pulang sendiri tanpa ngasih tau Saga?"

"Kamu sudah janji untuk nunggu." Saga mencoba tersenyum walaupun matanya membeku, "Kamu selalu nepati janji."

Aku meringis singkat kemudian membenamkan pipiku ke atas meja. Perasaanku masih seenggak enak tadi. Sayangnya, keberadaan Saga sekarang juga tidak semenenangkan biasanya. Karena aku tau, Saga sama bad moodnya seperti aku.

"Johan. Ayo pulang." Ucap Saga setelah melihatku cuma diam selama satu menit.

Aku mendongakan kepala, "Saga tadi nggak marah-marah kan?"

Saat itulah ekspresi wajah yang Saga sembunyikan keluar. Sorot matanya berubah. Saga menggertak gigi, matanya menyipit dan ekspresinya berubah gusar. Saga marah. Dia bener-benar marah.

"Apa aku bisa diam aja, ngelihat kamu di permalukan di depan umum?" Tanya Saga tenang namun menekan di setiap suku katanya.

"Tapi aku bener-bener nggak suka lihat Saga marah. Aku nggak mau mereka sampai salah paham kalau mereka lihat Saga marah. Aku nggak mau Saga kelihatan jelek di depan mereka."

"Jelek? Menurutmu marah itu jelek?"

"Iya."

"Sementara kamu diam saja waktu orang lain bikin kamu malu di depan umum. Apa menurutmu itu 'baik' ?"

"Aku nggak peduli orang lain mikir aku gimana. Saga yang ngajarin aku untuk begitu."

"Sayangnya kamu masih peduli. Kamu cuma pura-pura nggak peduli." Saga mengernyitkan keningnya tak puas, "Dan nggak peduli itu bukan berarti kamu pasrah."

"Tapi aku nggak suka Saga jadi kelihatan jelek karena aku. Aku mau semua orang lihat Saga yang baik-baik aja."

Mendengar kalimatku, Saga memejamkan mata selama sepersekian detik sambil menarik nafasnya perlahan sebelum berkata, "Itu hal yang sama seperti yang aku lakukan ke kamu sekarang, Johan. Aku nggak suka ngelihat kamu diperlakukan seperti itu di depan umum."

"Saga nggak perluh kayak gitu ke aku. Aku nggak..." Aku menggigit bibir dalam-dalam, "Aku nggak butuh selalu dilindungi Saga. Aku bisa sendiri."

Bibir Saga terbuka sesaat sebelum ia dengan cepat mengatupkan kembali dengan ekspresi dingin. Aku membuang wajahku. Perasaanku makin berkecamuk. Aku ingin bilang ke Saga, kalau aku nggak suka namaku selalu di sangkut pautkan dengan Saga. Seakan semua tindakanku mempengaruhi pandangan orang-orang tentang Saga. Seakan-akan kalau Saga di sampingku, Saga akan kelihatan jelek. Apalagi kalau Saga sampai marah hanya gara-gara membelaku. Rasanya salah.

Aku menciut di kursiku, teringat kata-kata yang paling kubenci, Bekas Johan. Seperti aku barang jelek, rongsokan, kotor, penyakit menular, benda menjijikan.

"Sudah, cukup." Saga menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku dan terang-terangan menatapku khawatir. Membuat rasa bersalahku makin memuncak, "Ayo pulang, Johan."

"Aku nggak apa-apa Saga. Saga nggak usah khawatir. Beneran."

"Aku tau kamu pasti bilang begitu." Saga menghela nafas, "Aku tau dari kecil kamu biasa menghadapi apapun sendirian. Kamu juga selalu mementingkan orang lain di atas kepentinganmu. Kamu bahkan juga bilang, kamu nggak butuh selalu kulindungi." Kini Saga menundukkan kepalanya semakin dalam hingga kedua mata kami bertatapan cukup dekat, "Tapi aku, aku yang butuh untuk selalu ngelindungi kamu, Johan."

Dunia Jo (Completed)Where stories live. Discover now