Part 10

1.4K 233 4
                                    

"Aku baru pertama kali datang ke tempat kayak gini." Aku menengok bangunan tua di kanan kiri tempat Saga baru saja memarkirkan mobilnya, dengan ekspresi gembira.

"Bagus kan?" Saga tersenyum puas.

"Iya." Aku mengangguk-angguk kagum. Aku baru tau kalau dari dekat bangunan tua menyimpan keindahan sendiri. Bentuk, penempatan, warna dan pola arsitekturnya membuatku terkagum-kagum.

"Kamu lihat bangunan kubah merah itu? Toko itu jualan kue tempo dulu. Kalau bangunan yang itu, museum barang antik. Yang di balik gang setelah ini, itu museum mobil tua."

"Saga kok bisa hafal? Saga sering kesini?" Tanyaku sambil masih sibuk menengok kanan kiri.

"Lumayan sering. Aku suka suasana kota tua." Jawabnya sebelum berkata, "Aku minta maaf karena tadi kita nyaris kecelakaan."

"Yang penting Saga nggak apa-apa. Saga harus lebih hati-hati ya."

"Ya. Aku harus lebih hati-hati." Ujar Saga sambil menggertakkan gigi sebelum melanjutkan berkata, "Boleh aku gandeng tanganmu?"

Pipiku sontak memerah. Mencoba mengingat-ingat terakhir kali Saga menggandeng tanganku. Kira-kira dua minggu yang lalu ketika Saga menemaniku menyebrang jalan ke supermarket dekat sekolahku. Saga memang selalu menggandeng tanganku setiap menyebrang atau kalau saat kami berjalan di samping jalan raya.

Begitu jemari kami saling bertemu, Saga langsung menggenggam jemariku. Lalu dengan sopan pula, Saga memposisikanku untuk berjalan di samping kirinya sementara Saga berdiri di sebelah kanan dekat jalan. Sebetulnya Saga tidak perluh seprotektif ini karena jalan raya di sekitar kawasan kota tua tidak terlalu ramai, tapi itu sudah sifatnya Saga untuk bersikap gentleman. Kadang karena hal sepele seperti inilah yang membuat Saga tampak terlalu sempurna di mataku. Aku jadi merasa nggak ada apa-apanya dibanding Saga.

"Aku sayang kamu Jo." Saga tiba-tiba berkata sambil menunduk lagi dan tersenyum menawan menatapku.

Lalu aku bisa apa selain melongo kalau tau-tau di bom pernyataan cinta tanpa aba-aba begini? Aku tidak punya persiapan sama sekali. Seandainya di saat seperti ini Saga juga tau-tau mengayun-ayunkan lengannya di depan mataku pasti aku pingsan saking gugupnya. Ternyata Saga tidak perluh harus mengayun-ayunkan tangan nya di depan hidungku untuk membuatku gugup sampai pingsan. Karena saat tanpa sadar aku balas menatap Saga, aku melihat Saga sedang menelan ludah hingga jakunnya bergerak.

Aku menjerit dalam hati sambil menutupi wajahku dengan telapak tangan. Wajahku merah. Dalam hati aku mengutuki diri sendiri karena berpikir aneh-aneh.

Saga awalnya hanya diam menatapku dengan kening berkerut dan alis naik satu sebelum akhirnya malah tertawa terbahak-bahak melihatku stress sendiri. Yang lebih memalukan lagi adalah; Saga selalu tau. Dia terlalu pintar terlalu cerdas. Saga selalu tau apa yang kupikirkan bahkan tanpa kukatakan.

"Kamu lapar kan? Ayo kita makan. Aku tau restauran yang paling enak disini." Saga tiba-tiba menarik tanganku sambil masih tersenyum.

Kemudian tanpa sengaja sewaktu kami berjalan, aku melihat pantulan kami di salah satu kaca etalase toko lampu antik. Anak perempuan dengan rambut panjang mengikal sepinggang, berponi, berjalan dengan anak laki-laki berbadan tinggi tegap menjulang, berhidung mancung, dan berahang kaku sempurna. Saga bahkan kelihatan seperti bintang iklan sekalipun ia memakai seragam SMU. Pantas saja, orang-orang tidak berhenti mendekati Saga sekalipun tau Saga itu milikku. Wajar, semua orang ingin merebut Saga dariku. Karena aku memang tidak ada apa-apanya dibanding Saga.

Dunia Jo (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora