Mengingat Namanya

35.4K 3.8K 190
                                    

Malam hari tiba. Malam ini Ajoz dan Sharma tidak harus makan malam berdua karena kali ini ada Ader. Mereka makan malam dengan hikmat tanpa suara bising Sharma. Makanan kali ini adalah makanan kesukaan Sharma, oleh sebab itu gadis itu begitu khusyuk saat makan.

"Sharma." Suara Ader memecahkan keheningan di malam itu.

"Ya?" Sharma mengangkat kepala.

"Masih ingat dengan Ibu Ratu?" tanya Ader.

Sharma langsung tertawa mendengar pertanyaan aneh dari kakaknya. Tentu saja ia ingat karena dirinya tidak tua sehingga pikun. "Tentu saja," jawab Sharma dengan sisa tawanya.

"Ingat juga dengan perjodohan itu?"

Seketika lauk yang akan disuapkan ke mulut mendadak mundur lagi dan berakhir di piring. Sharma tampak terkejut mendengar ucapan kakaknya. "Paman sudah membatalkannya. Jadi untuk apa dibahas?"

"Paman tidak membatalkan, baru rencana," ucap Ajoz mengoreksi.

Seketika Sharma cemberut sebal. "Tapi Paman bilang akan membatalkannya. Aku tahu kakak pasti mau membahas perjodohan itu, kan? Tidak. Aku tidak mau. Aku sudah mempunyai pria pujaan."

Ader menarik nafas panjang. Untuk sekarang mungkin Sharma hanya bisa membayangkan Kaisar itu pria tua berjanggut lebat, mata sangar, badan gendut, dan istri banyak. Sebelumnya Sharma tidak pernah bertemu dengan Kaisar, melihat lukisannya pun tidak. Jadi wajar saja jika Sharma tidak mau.

"Mengapa tidak mau? Kaisar itu tampan, gagah, baik hati, dan mempesona. Kau pasti akan bahagia menjadi selirnya. Belum lagi dia memiliki harta yang sangat banyak, kau tidak perlu lagi menjemur teh dan menjual teh."

Ader tahu adiknya ini sedikit mata duitan, oleh sebab itu ia mencoba mengiming-imingi dengan harta Kaisar.

Pikiran Sharma langsung melalang buana begitu mendengar sedikit ciri-ciri dari Kaisar. Seketika ia tersenyum. Bagaimana kira-kira jika ia memiliki suami tampan, gagah, berjabatan tinggi, dan banyak harta? Ah, pasti sangat menyenangkan.

Eh? Aku kan sudah punya bebeb Haikal. Huaaaa ... Lagi-lagi aku merindukannya.

Sharma langsung menggeleng. "Tidak. Aku sudah punya pujaan hati."

Ajoz meletakkan piring kosong. Ia sudah makan dengan sangat kenyang dan kini bisa berbicara dengan keponakan tersayangnya. "Pujaan hati? Anak tabib itu?" Ajoz ingin tertawa terbahak-bahak. "Dia bahkan tidak melirik mu sedikitpun, Sharma."

Sharma tetap menggeleng walaupun sadar bahwa yang dikatakan oleh pamannya adalah benar. Ia menyukai seorang pria bernama Haikal. Haikal tiga tahun lebih tua dari dirinya. Haikal adalah bintang di kampung Teh ini. Selain karena anak tabib, Haikal juga terkenal tampan serta baik hati. Sayangnya pria itu tidak pernah melirik Sharma.

"Pokoknya aku tidak mau. Aku hanya mau Haikal," keukeuh Sharma.

Ajoz memperbaiki posisi duduknya kemudian menatap Sharma dengan lembut. "Sharma, tadinya paman ingin membatalkan perjodohan ini karena ini hanya keinginan Ibu Ratu. Tapi apakah kamu ingat dirimu siapa? Jika kamu berada bersama Kaisar, kamu bisa aman. Mereka tidak akan menemukanmu dan tidak akan menyangka bahwa yang mereka cari adalah dirimu. Tentu kau ingin selamat, bukan?"

Sharma terdiam memikirkan apa yang Ajoz katakan. Benar, jika ia tetap disini, kemungkinan besar orang-orang itu akan menemukan dirinya. Tidak mungkin ia akan berpindah-pindah tempat tinggal lagi. Ia tidak ingin merepotkan Ajoz yang sudah menyelamatkan dirinya.

Akhirnya, demi memikirkan keselamatan dan juga tidak ingin merepotkan Ajoz serta kakaknya, Sharma pun mengangguk. "Baik, Paman."

Ya walaupun hatiku ini milik Haikal, namun aku tidak bodoh karena cinta sebelah tangan. Tidak mungkin aku mengenyampingkan nyawaku. Huhuhuhuhuhu, maafkan aku bebeb Haikal. Cintaku tidak sedalam kubangan babi.

* * * *

Seorang pria tengah duduk di depan meja panjang. Di atasnya terdapat banyak kertas berisi laporan dari para pejabat istana. Di sana pria itu tidak sendirian, ada pria berjubah hitam, berambut putih panjang, dan separuh wajahnya ditutupi oleh penutup kepala jubah. Pria itu sedang duduk di depannya dengan sopan. Pria itu adalah Azoch, mata-mata misteriusnya.

"Bagaimana? Ada sesuatu yang mencurigakan di perbatasan Selatan?"

Azoch menggeleng. "Tidak ada, Yang Mulia."

Yang Mulia, begitulah orang-orang memanggil namanya. Semua orang mengagung-agungkan namanya karena ia adalah seorang Kaisar di Negeri Alrancus ini.

"Lalu bagaimana dengan perbatasan Barat?" tanyanya lagi.

"Hamba sudah menurunkan bantuan pasukan lagi. Hamba membutuhkan waktu tiga hari untuk mendapatkan informasi baru mengenai perkembangan di sana. Kita harus menunggu Ader kembali bertugas," jawab Azoch.

Kaisar mengangguk. Ia memiliki dua mata-mata terpercaya. Pertama Azoch, dan yang kedua Ader. Jika salah satu mereka tidak ada, maka Kaisar akan kebingungan mencari penganti. Kemarin Ader ditugaskan menyampaikan surat teguran pada desa disebelah kampung halaman Ader. Surat teguran upeti kali ini penting sehingga Kaisar hanya bisa mempercayakan Ader. Mungkin esok hari Ader telah sampai ke istana.

Kaisar menyandarkan punggungnya ke kursi. Mata elangnya terus menatap ke selembar kertas warna kuning. Dilihat dari tulisan dan kertasnya, sepertinya seseorang sudah menulis di kertas itu sejak lama. Sepertinya Kaisar sudah banyak terlambat untuk mengatasi ini.

"Maaf, Yang Mulia. Besok adalah tanggal perjodohan Yang Mulia dengan adiknya Ader. Apakah hamba harus bertindak untuk menggagalkan rencana itu?"

Mata Kaisar yang tadinya terfokus pada kertas kuno itu beralih kepada Azoch. Hampir saja ia melupakan hal yang satu ini. Ia baru ingat bahwa perjodohan itu jatuh pada esok hari. Ia bahkan tidak pernah mengingatnya lagi.

"Ibu Ratu sudah tiada, mungkin perjodohan ini tidak perlu dilakukan," lanjut Azoch.

Kaisar meluruskan lagi punggungnya. "Tidak, biarkan tetap terjadi. Perjodohan ini satu-satunya permintaan terakhir Ibu Ratu. Aku ingin memenuhinya."

Azoch mengangguk. Kaisar benar-benar menyayangi ibunya.

"Kau boleh pergi," ucap Kaisar tegas.

Pria itu bangkit lalu membungkuk hormat. "Baik Yang Mulia. Hamba undur diri."

Setelah Azoch pergi, Kaisar menyandarkan punggungnya kembali. "Nama gadis itu Sharma, bukan?"

Kaisar & Sang AmoraKde žijí příběhy. Začni objevovat