Sharma Akan Pulang

19.9K 2.4K 55
                                    

Sharma berjalan dengan santai di belakang seorang pria yang berpakaian sederhana. Kini mereka sedang menyusuri jalan setapak menuju desa terdekat setelah keluar dari desa Teh. Setelah beristirahat sehari di rumah Ajoz, kondisi Sharma sudah membaik. Mungkin karena kekuatannya sudah kembali, tubuhnya dengan mudah menyembunyikan diri sendiri. Lukanya mengering dengan cepat dan hanya menyisakan bekasnya saja.

Sebenarnya Sharma masih ingin di rumah, namun Ajoz bersikeras memerintahkan dirinya untuk segera pulang ke istana. Pamannya berkata, istana jauh lebih aman dari pada di desa Teh. Lagi pula Ajoz takut Kaisar akan murka karena Selir ke-enamnya pergi dari istana tanpa pamit dan tanpa penjagaan. Karena pamannya itu terus memaksa dan seolah mengusirnya, akhirnya ia pun patuh.

Sepanjang perjalanan, senyuman Sharma tak pernah surut sedikitpun. Sharma sangat bahagia karena dirinya bisa jalan berdua bersama sang pujaan hati, yakni Haikal. Karena Sharma terbilang masih terluka, Ajoz tidak membiarkan Sharma pulang sendirian. Ajoz tidak dapat mengantar Sharma karena ada sesuatu yang sangat penting. Oleh sebab itu Ajoz meminta Haikal mengantar Sharma ke istana. Untuk ke istana, mereka butuh ke desa Xalulun terlebih dahulu. Hanya di desa Xalulun mereka bisa mendapatkan kereta kuda menuju istana.

"Apakah kau lelah?" tanya Haikal tiba-tiba di tengah keheningan mereka.

Sharma menggeleng, padahal Haikal jelas tidak akan melihat karena pria itu berjalan di depannya. "Tidak. Aku bahkan sanggup berjalan sampai ke istana asalkan bersamamu."

Terdengar Haikal terkekeh. "Kau masih saja sama, Sharma. Ingat, kau ini sudah menjadi Selir Kaisar."

"Tidak masalah. Aku bisa menjadikan kau sebagai suami ke tiga," ucap Sharma santai.

Haikal berhenti sehingga Sharma bisa sejajar dengannya. "Ketiga? Memangnya kau sudah memiliki suami ke-dua?"

Sharma tersenyum lebar sambil mengangguk. "Ya. Namanya Pangeran Giler. Tapi masih calon. Aku harus menunggu Kaisar setuju."

Seketika Haikal tertawa. Sharma memang sering bercanda. Inilah yang ia suka dari sosok gadis yang terus mengejarnya sejak kecil. Sejak gadis ini datang ke desa Teh, mereka sudah bertetanggaan dengan baik. Setiap hari Sharma kecil akan main ke rumahnya dan mengajaknya bermain. Sayang sekali ia harus fokus pada ilmu pengobatan dari ibunya sehingga ia tidak memiliki waktu bermain. Tak jarang ia mengabaikan Sharma begitu saja. Dan sampai pada kabar mengejutkan hari itu, ia mendengar kabar bahwa Sharma telah menjadi Selir Kaisar Ariga yang ke-enam. Semuanya sangat tiba-tiba. Bahkan ia tidak tahu kapan Sharma pergi dari desa Teh untuk pergi ke istana. Namun mau dikata apa? Sharma sudah menjadi milik Kaisar.

"Sebentar lagi kita akan sampai di desa Xalulun," ucap Haikal mencoba mencari topik pembicaraan. Ia tidak ingin rasa sakit terus menggerogoti hatinya.

Sharma mengangguk. Sebenarnya ia sudah tidak sanggup berjalan. Jarak antara desa Teh dengan desa Xalulun sangat jauh. Ia heran, mengapa kereta desa Teh memiliki pangkalan di desa Xalulun? Mungkinkah karena jalan menuju desa Teh sangat terjal? Tapi memang masuk akal. Daerah desa Teh adalah daerah perbukitan. Tentu sulit bagi kereta kuda untuk melewatinya.

Sharma dan Haikal kembali jalan. Karena posisinya berdampingan seperti ini, Sharma jadi bisa melirik ke arah Haikal secara diam-diam. Mata teduh, hidung mancung, dagu lancip, alis tebal, dan bibir tipis. Oh, sungguh tampan dan nyaman di mata. Wajar saja ia memuja pria yang satu ini.

"Jangan melirikku seperti itu," tegur Haikal yang ternyata tahu bahwa Sharma sedang mencuri pandang.

Sharma langsung terkekeh. "Aku hanya ingin memastikan, kau masih Haikal yang sama dengan yang dulu aku sukai. Dulu kau selalu mengabaikan aku, dan kini malah rela mengantarkan aku ke istana."

Haikal tersenyum. "Kapan lagi aku bisa ke pusat kota? Lagi pula, kau ini Selir Kaisar, sebagai warga, aku harus melindungi keluarga istana sebisa mungkin. Dan aku yakin, Kaisar akan sangat khawatir karena Selirnya tiba-tiba hilang."

Sharma terkekeh lagi. "Mana mungkin dia sepeduli itu padaku. Aku bukan Selir yang dikehendakinya. Dia memilihku bukan karena menyukaiku. Kami hanya dijodohkan oleh mendiang Ibu Ratu. Yang Mulia hanya mencintai Permaisuri Thanu." Sharma menghela nafas. "Seandainya waktu bisa diulang, aku tidak ingin menjadi Selirnya. Dia sangat galak," ucap Sharma sambil memonyongkan bibirnya.

Haikal melirik pada Sharma. Ia ingin tertawa namun ingin juga meremas dadanya. Sharma berubah kesal saat mengatakan Kaisar galak, itu artinya Sharma berharap Kaisar bersikap lembut. Dan saat mengatakan Kaisar mencintai Permaisuri, ia menangkap ekspresi sedih. Apakah Sharma sudah berpaling hati?

"Eh, itu pohon apa?!" Tiba-tiba Sharma heboh begitu melihat sebuah pohon yang memiliki buah yang sangat lebat. "Buah apa itu?" Mata Sharma berbinar melihat buah berwarna putih yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Mata Haikal mengikuti arah yang ditunjuk oleh Sharma. Kemudian ia tersenyum lebar. "Itu  buah Sraca. Apakah kau tidak pernah melihatnya? Padahal sudah bertahun-tahun kau tinggal di daerah sekitar sini."

Sharma menggeleng. Dia benar-benar belum pernah melihat buah berwarna putih sebesar bauh apel namun bentuknya menyerupai kerucut. Sungguh unik. "Bagaimana rasanya? Apakah boleh dimakan?"

Haikal mendekat ke arah pohon Sraca. "Rasanya manis dan sedikit masam. Daunnya bisa dijadikan obat luka dan gatal-gatal." Haikal menggapai dahan yang paling rendah lalu menolakan kakinya ke bawah. "Buah Sraca tentu saja boleh dimakan. Hanya saja jarang ditemukan. Pohon Sraca biasa ditemukan di hutan. Entah mengapa pohon ini tidak tumbuh jika terlalu banyak mendapatkan sinar matahari."

"Kau sudah makan belum?" tanya Haikal ingin memastikan Sharma sudah mengisi perut sebelum memakan buah Sraca.

Sharma menggeleng.

Haikal ingin turun lagi. "Kalau begitu jangan makan buah ini."

Sharma menggeleng. "Tidak. Aku ingin mencobanya. Cepat ambilkan."

Haikal menggeleng juga. "Tidak. Nanti kau sakit perut."

Bukan Sharma namanya jika bisa menuruti perintah orang dan mendengarkan larangan. Jangankan Haikal, Kaisar yang memiliki kekuasaan tertinggi pun tidak pernah ia turuti. "Iiish, cepat ambilkan atau aku akan kembali ke desa Teh."

"Sharma, jika kau sakit perut bagaimana? Memakan buah Sraca sebelum makan dapat menaikkan asam lambung. Kau kan memiliki asam lambung tinggi."

"Kau tahu, Kaisar pun tidak bisa melarangku. Jadi ikuti mauku. Kataku 'mau' ya berarti mau." Sharma tetap bersikeras ingin ikut.

Akhirnya Haikal hanya bisa menghela nafas kemudian mengambilkan buah Sraca untuk Sharma. Dari atas pohon, Haikal melemparkan buah Sraca dan ditangkap dengan tepat oleh Sharma. Tanpa mencuci buah terlebih dahulu, Sharma langsung memberikan cap gigi pada buah Sraca. Mata Sharma membulat seketika. "Mmmm!"

Nanti kita buat Kaisar bertemu dengan Haikal ya. Gimana nanti ekspresi Kaisar melihat pria yang disebut Sharma dalam mimpi ada di hadapannya dan Sharma dekat dengan pria itu?

Oh ya untuk buah Sraca, ini gak ada di dunia nyata ya Guys. Ini hanya buah khayalan Sely. Hanya ada di cerita ini.

Kaisar & Sang AmoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang