Di Menara Tak Terpakai

21.6K 2.5K 17
                                    

Angin malam menerpa wajah Sharma yang duduk di samping Pangeran Giler. Sekarang mereka berada di atas menara yang sudah tak terpakai. Dulunya menara itu adalah menara pemantauan. Jika duduk di sana, mereka bisa melihat pemandangan indah di luar Istana. Perumahan warga, bangunan komunitas, dan bangunan lainnya yang terlihat kecil namun indah dipandang. Dari sana mereka juga bisa melihat perbukitan dan danau-danau yang terletak tak begitu jauh dari istana.

Istana Alrancus memang terletak di tempat yang sangat indah. Tidak terlalu padat dan masih banyak pemandangan asri. Pusat kota keramaian tidak berada di dalam kawasan istana, letaknya di sebelah Utara istana. Sebab itulah keasrian istana Alrancus masih terjaga.

"Indah, kan?" tanya Pangeran Giler sambil memandang wajah Sharma dari samping.

Sharma mengangguk. Matanya masih fokus menatap lampu-lampu rumah yang terlihat seperti bintang malam.

"Ketika aku masih kecil, aku selalu datang kemari jika merasa bosan," ucap Pangeran Giler sambil kembali memfokuskan pandangannya ke perbukitan.

"Memangnya kau tidak memiliki teman?" tanya Sharma penasaran. Biasanya anak bangsawan memiliki banyak teman.

Pangeran Giler menggeleng. "Mana ada. Anak pejabat tidak pernah main di sekitar istana. Sedangkan Kaisar Ariga, dia begitu dingin dan suka menyendiri. Belum lagi dia terus berlatih pedang dan mempelajari politik. Dia tidak memiliki waktu bermain. Jadi aku sering bermain sendirian."

Sharma menghela nafas. Pantas saja Kaisar seperti serigala kutub, ternyata masa kecilnya kurang bahagia. Anak kecil mana yang sanggup berlatih pedang dan mempelajari politik setiap waktu? Untung Kaisar tidak cepat tua.

"Bagaimana dengan masa kecilmu?" tanya Pangeran Giler kali ini tanpa menoleh.

Sharma menelan ludah dengan susah payah. Ia harus bercerita apa pada pria yang satu ini. Mana mungkin ia mengatakan bahwa dia adalah Amora. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia berasal dari negeri Chaulus yang kemudian melarikan diri karena dikejar oleh orang-orang jahat itu.

"Hmm, tidak ada yang spesial. Aku yatim-piatu, ayah dan ibuku sudah meninggal sejak aku kecil. Aku tidak tahu sebabnya karena aku masih sangat kecil," bohongnya. "Kemudian aku dan kak Ader dirawat oleh paman Ajoz," jawab Sharma pada akhirnya. Ia jujur di rawat oleh Ajoz yang kini telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri.

Pangeran Giler menoleh cepat ke arah Sharma. Pangeran Giler menatap Sharma cukup lama. Gadis yang satu ini memang penuh dengan pesona. Namun entah mengapa ia merasa Sharma memiliki kisah kelam yang membawa kesedihan sampai sekarang. Gadis ini memendam semuanya sendirian dan menutupinya dengan keceriaan. Jujur, pertama kali bertemu dengan Sharma, Pangeran Giler sudah menaruh hati. Tapi apa boleh buat, Sharma telah ditandai sebagai milik Kaisar.

"Hei, jangan menatapku seperti itu." Sharma dengan tidak sopannya meraup wajah Pangeran Giler dengan tangan kanan. Tentu saja Pangeran Giler terkejut dan mengusap wajahnya.

"Kau ini tidak ada sopan-sopannya pada Pangeran," gerutu Pangeran Giler kesal karena Sharma mengganggu lamunannya.

"Oh ya, kau kan Pangeran. Tapi setahuku Kaisar adalah putra tunggal Kaisar sebelumnya, dan Kaisar sebelumnya tidak memiliki Selir. Lalu, bagaimana bisa kau menjadi Pangeran?" tanya Sharma penasaran.

"Aku anak dari adiknya Kaisar Sadhnan. Oleh sebab itu aku termasuk Pangeran. Kini ayahku menjadi Perdana Menteri dan mengasuh akademi militer istana. Aku juga sering ke sana untuk melatih," jawab Pangeran Giler.

"Oh ya. Besok aku akan pergi ke perbatasan Utara," ucap Pangeran Giler. Matanya kembali menatap ke depan.

Sharma mengangkat bahu. "Apa urusannya dengan ku?"

Pangeran Giler berdecak kesal, Sharma memang tidak bisa diajak membuat suasana romantis. "Hanya memberitahu. Jadi besok jika kau merasa bosan, jangan mencari ku."

Sharma menatap Pangeran Giler. "Kenapa banyak orang yang dikirimkan ke perbatasan? Kak Ader dikirim ke perbatasan Barat. Dan kau akan dikirimkan ke perbatasan Utara. Sebenarnya ada apa dengan perbatasan negeri Alrancus?"

Pangeran Giler menghela nafas panjang. "Akhir-akhir ini sering terjadi pemberontakan di perbatasan. Terutama di wilayah perbatasan Selatan. Pemberontak itu dilakukan oleh sebagian warga setempat yang ingin menurunkan Kaisar Ariga."

Sharma mengerutkan keningnya. "Jika Kaisar Ariga dilengserkan, memangnya siapa yang mereka inginkan jadi Kaisar? Jelas-jelas satu-satunya keturunan Arnold hanyalah Kaisar Ariga."

Pangeran Giler hanya menggedikkan bahu tanda tak tahu. "Tapi urusan di perbatasan Utara bukan sebuah pemberontakan. Melainkan salah satu bangsawan dari Negari Chaulus memaksa masuk ke wilayah Negeri Alrancus. Mereka didukung langsung oleh kerajaan Chaulus dan membawa beberapa pasukan. Itulah masalahnya."

Mendengar nama 'Chaulus', tubuh Sharma langsung menegang. Apa tujuan negeri itu datang ke Alrancus? Jangan-jangan mereka sudah mencium keberadaannya? Cepat sekali.

"Apakah mereka ingin melakukan penyerangan?" tanya Sharma ingin memastikan.

Pangeran Giler menggeleng. "Tidak, hanya kunjungan biasa. Namun apakah kau tahu, Negeri Alrancus dan Chaulus tidak memiliki hubungan yang cukup baik. Hal inilah yang membuat kami harus selalu waspada jika Chaulus ingin berkunjung."

Jantung Sharma berdetak tak karuan. Ia tidak yakin orang-orang itu sudah mengetahui keberadaan dirinya. Beberapa tahun lalu Ajoz sudah menyebarkan berita ke Chaulus. Berita tersebut tentang ditemukannya mayat anak kecil perempuan yang memakai jubah putih di hutan belantara. Seharusnya orang-orang itu sudah mengira itu adalah kematian dirinya. Lalu untuk apa mereka datang ke negeri Alrancus? Apalagi Pangeran Giler mengatakan bahwa hubungan Alrancus dan Chaulus kurang baik. Apakah Ajoz tahu tentang rencana kedatangan orang-orang Chaulus?

Pangeran Giler memerhatikan Sharma yang terlihat gelisah. "Ada apa?" tanyanya.

Sharma menggeleng. "Aku ingin beristirahat. Ini sudah malam."

Pangeran Giler mengangguk. "Kalau begitu mari aku antar."

Tunggu besok ya Guys

Kaisar & Sang AmoraWhere stories live. Discover now