Dia Bukan Kaisar

22.4K 2.7K 34
                                    

Sring

Pangeran Giler menatap tidak mengerti pada Kaisar yang tiba-tiba menghunuskan pedang ke lehernya. Ia tidak bisa menangkis pedang Kaisar karena tangannya sedang membawa kendi air minum untuk Sharma.

Kaisar sedikit menekan pedangnya hingga terasa dingin di leher Pangeran Giler.

"Ada apa Yang Mulia? Apa salah hamba?" Pangeran Giler terpaksa mengangkat tangan tanda menyerah.

Kaisar menatap tajam pada Pangeran Giler. "Apa yang aku perintahkan padamu?"

Pangeran Giler mengerti apa maksud dari pertanyaan Kaisar. "Hamba hanya pergi mengambil air minum untuk nona Sharma."

Kaisar menarik pedangnya lalu memasukkannya kembali ke sarung pedang. Matanya masih menatap tajam pada Pangeran Giler. "Cari tahu apa yang terjadi saat kau meninggalkan dia di pinggir danau Teratai."

Pangeran Giler mengerutkan alisnya. "Memangnya kenapa Yang Mulia?"

Kaisar berbalik badan meninggalkan Pangeran Giler di ruang istirahat Pangeran. "Aku melihat ada darah hitam di pohon dekat Sharma berbaring."

Seketika mata Pangeran Giler terbelalak lebar. Apakah ada penyerangan terhadap Sharma? Jika benar, lalu mengapa Sharma baik-baik saja? Apakah Sharma yang mengalahkan penyerang itu? Mengapa Sharma bisa diserang? Apakah Sharma memiliki musuh di istana? Banyak sekali pertanyaan yang menggerogoti pikiran Pangeran Giler. Namun ada rasa penasaran. Ia menjadi penasaran pada tanda merah yang melingkar di leher Sharma.

* * * *

"Huhu ... Pijat yang benar Wenari. Kakiku sakit semua. Otot-otot kakiku seperti kaku."

Wenari memijat kaki Sharma sesuai dengan yang diminta oleh nonanya. Saat ia memijat lembut, nonanya meminta sedikit dengan tenaga. Ketika sudah ditekan dengan tenaga, nonanya malah marah-marah. Sungguh ia sudah kesal, namun ia tidak bisa berbicara apa-apa.

Sedangkan Nora sedang menyisir rambut Sharma. Sesampainya Sharma di kediamannya, kedua pelayannya memaksa Sharma untuk segera mandi. Bagaimana tidak disuruh mandi, rambut Sharma penuh dengan daun kering dan juga rerumputan.

"Apakah Nona merasa jera setelah dihukum oleh Yang Mulia?" tanya Nora. Sharma sudah menceritakan semua yang terjadi setelah dirinya dibawa oleh Pangeran Giler.

Sharma menggeleng. "Tidak. Enak saja dia menghukum ku. Aku berjanji akan membuat dia semakin pusing."

Wenari mengangkat wajahnya. "Jangan Nona. Nanti Yang Mulia murka dan menghukum lebih berat lagi."

Sharma tersenyum miring. "Dia tidak akan berani. Aku yakin itu." Kemudian Sharma menguap. "Kakakku ke mana? Mengapa dia tidak datang menemui ku?" tanya Sharma pada Wenari.

"Tuan Ader sedang ditugaskan oleh Yang Mulia ke perbatasan Barat. Di sana sedang terjadi perang kecil," jawab Wenari. "Sebab itulah Tuan memerintahkan saya untuk menjaga Nona," lanjutnya.

Sharma menghela nafas, matanya beralih ke jendela kamar yang menampilkan pemandangan di luar. Lewat jendela itu ia bisa melihat pepohonan di bawah sinar rembulan. Di sini ia sendirian. Tidak ada orang yang bisa ia percaya sepenuhnya. Ucapan Selir Lira selalu ia tanamkan. Di Istana ini tidak ada yang bisa dipercaya, termasuk pelayan pribadi sekalipun.

Mata Sharma menyipit ketika melihat bayangan hitam yang melesat cepat di depan jendela. Saat ia berkedip, bayangan itu telah menghilang.

Kenapa aku merinding ya?

"Yang Mulia mengumumkan besok hari pengangkatan Nona menjadi Selir," ujar Wenari sambil mengompres kaki Sharma dengan air hangat.

Sharma yang hendak memejamkan mata langsung bangkit. Ia pikir Kaisar akan menunda sampai Sharma benar-benar sembuh. Haruskah dirinya senang? Atau malah takut?

"Kau serius?" tanya Sharma sambil menarik kakinya lalu dilipat. Bersila.

Wenari menaruh mangkuk air hangat ke atas meja. "Jika Nona tidak percaya, tanyakan saja langsung pada Yang Mulia. Besok pagi Nona dilarang pergi ke mana-mana. Akan ada banyak penjaga yang menjaga Nona agar tidak membuat keributan lagi." Wenari menghadap Sharma. "Acaranya akan dilangsungkan pada malam hari. Ingat, Nona harus bersikap anggun nanti."

Sharma menarik satu bantal lalu dipeluknya bantal itu. "Apakah Permaisuri akan hadir?"

Tentu saja Sharma tahu jawabannya. Mana ada istri yang dengan suka rela datang ke pesta pernikahan suaminya dengan wanita lain. Jikapun datang, pasti hanya untuk mengamuk dan merusak pesta.

"Tentu saja datang. Sebagai Permaisuri, Permaisuri harus menghadiri acara besar. Termasuk pengangkatan Selir."

Sharma melongo tak percaya. Benarkah dia akan menikah disaksikan oleh istri tertua? Bayangan-bayangan mengerikan saat Permaisuri mengacak-acak rambutnya melintas jelas di kepalanya.

Huaaa ... Tidak. Jangan sampai itu terjadi.

"Silahkan beristirahat Nona." Wenari mengundurkan diri. Begitupun dengan Nora.

Kini tinggal Sharma yang ada di kamar sunyi itu. Tadinya Sharma ingin bercermin untuk memeriksa apakah dirinya masih cantik atau tidak. Dia harus memastikan besok bisa berpenampilan baik. Tapi niat itu ia urungkan mengingat kejadian terakhir kali ia bercermin di malam hari.

Tok tok

Sharma menoleh ke arah pintu. Orang yang mengetuk pintu tidak kunjung bersuara. Akhirnya Sharma yang harus bertanya.

"Siapa?"

Tentu saja itu bukan Nora ataupun Wenari. Kedua pelayan pribadinya itu pasti akan langsung berbicara setelah mengetuk pintu.

"Ini aku." Suara dalam itu menjawab dan langsung dikenali oleh Sharma.

Sharma melepas bantal yang sedari tadi ia peluk kemudian turun dari ranjang. Segera ia membuka pintu kamar agar Kaisar tidak menunggu lama.

"Yang Mulia? Ada apa malam-malam begini datang ke kediaman hamba?" tanya Sharma dengan senyum biasa saja, tidak berusaha untuk ramah ataupun ingin terlihat manis.

Kaisar tidak menjawab. Mata hitam itu terus menatap wajah Sharma tanpa berkedip.

Gawat. Jangan-jangan Yang Mulia datang ke sini karena sudah kebelet kawin. Aduh, jangan dong. Jiwa dan ragaku hanya untuk bebeb Haikal.

"Yang Mulia?" Sharma mencoba untuk bertanya lagi.

Sharma mundur satu langkah ketika Kaisar maju satu langkah. Dan itu terus berlangsung sampai Sharma terpojok di dinding. Tangan Sharma menahan dada Kaisar ketika Kaisar maju selangkah lagi untuk mengikis jarak di antara mereka.

Mata Sharma langsung membulat. Tangannya tidak merasakan ada degup jantung di dada Kaisar. Ia pun mendongak untuk menatap wajah tampan pria jangkung itu. Sebelum tangan pucat itu meraih lehernya, tangan Sharma lebih dulu mendarat di wajah Kaisar. Wajah Kaisar menoleh ke kiri akibat tamparan keras itu.

Sharma menunduk untuk melihat tangannya yang terasa basah. Tak ia sangka, rasa basah itu berasal dari nanah, darah, dan belatung yang menempel di tangannya. Sharma menoleh ke arah Kaisar. Lagi-lagi rasanya Sharma akan mati berdiri. Wajah rata yang membusuk serta belatung yang menari-nari di wajah hantu itu membuat Sharma gemetaran. Seluruh tubuhnya menjadi dingin. Ternyata sosok itu bukanlah Kaisar, melainkan hantu rata yang tadi malam mencekiknya.

"Emaaakk!"

Buk

Kaisar & Sang AmoraWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu