Perdebatan Bibit Tambahan

18.7K 1.9K 48
                                    

"Yang Mulia ... Huaaaa!"

Kaisar mengerutkan kening. Ia bingung mengapa Sharma tiba-tiba menangis. Padahal sekarang sudah ia peluk. "Ada apa? Aku sudah ada di sini."

Sharma menengadah. "Apakah hamba harus melahirkan sekarang?"

Kaisar semakin bingung, namun Kaisar terkekeh dengan ucapan Sharma. "Kandunganmu baru tujuh bulan, bagaimana bisa dilahirkan secepat itu?"

Ya, waktu telah berlalu tanpa terasa. Kandungan Sharma telah memasuki usia 7 bulan. Selama tujuh bulan ini, kehidupan istana sangat tentram. Sejak Sharma menjadi Permaisuri, penghuni istana jadi lebih nyaman tinggal di istana. Sharma telah memberikan beberapa kebijakan baru, salah satunya membuat pemukiman baru di dekat istana. Pemukiman itu dikhususkan untuk para prajurit yang sudah memiliki istri ataupun pelayan yang memiliki suami. Dengan adanya pemukiman itu, setiap penjaga yang lepas dari shiftnya bisa pulang menemui keluarganya. Karena kebijakan itu, kini tak ada lagi masyarakat Alrancus yang ragu untuk mengabdi.

Kini Kaisar dan Sharma sedang berpelukan di tepi danau teratai. Tadinya Kaisar sedang bekerja, akan tetapi karena Sharma merengek ingin jalan-jalan keliling Istana, akhirnya Kaisar menunda terlebih dahulu pekerjaannya kemudian membawa Sharma jalan-jalan sebentar. Setelah lelah, mereka beristirahat di pinggir danau teratai.

"Yang Mulia, hamba serius." Sharma masih menangis.

Kaisar masih terkekeh kecil. "Tapi itu sungguh tak masuk akal Sharma. Wanita hamil harus menunggu sembilan bulan baru bisa melahirkan."

Sharma melepas pelukannya kemudian menunjuk perutnya yang kini sudah membuncit. "Tapi perut ini sangat besar, Yang Mulia. Sejak perut ini membesar, saat berpelukan dengan Yang Mulia jadi tak bisa lengket, dia mengganjal." Kemudian Sharma menunduk untuk melihat tubuhnya yang kini mulai menggemuk. "Dan badan hamba mulai mengembang."

Kaisar mengusap pipi tembam Sharma. "Justru kau sangat cantik dengan pipi seperti ini."

Bukannya senang, Sharma malah semakin mengerucutkan bibirnya. "Jadi selama ini, selama hamba kurus, hamba tidak cantik?"

Kaisar menghela nafas. Ternyata begini menghadapi wanita hamil. "Tidak, bukan begitu maksudku. Maksudku baik langsing ataupun gemuk, kau tetap cantik. Cantik dengan cara yang berdeba. Saat kurus, kau begitu mungil dan proporsional, sedangkan sekarang, kau begitu imut dan menggemaskan."

Barulah setelah dijelaskan oleh Kaisar bibir Sharma berhenti cemberut. "Tapi ini? Bagaimana dengan ini? Beberapa bulan lalu, hamba melihat pelayan yang sedang hamil besar, tapi kehamilannya tak sebesar perut hamba. Apakah anak kita obesitas di dalam?"

Kaisar langsung meletakkan jari di bibir Sharma. "Syut, jangan bicara sembarangan."

Sharma menunduk lagi. "Atau jangan-jangan sekarang ditambah lagi dengan anak kedua dan ketiga. Kan selama hamba hamil Kaisar sering menambah bibit."

Kaisar menepuk keningnya. Tak habis pikir dengan cara berpikir Sharma. "Oh Tuhan, bagaimana itu mungkin?"

Sharma menatap Kaisar lagi. "Bisa saja, Yang Mulia. Nanti setelah bayi pertama lahir dan sudah berusia 3 bulan, menyusul anak kedua, kemudian satu bulan berikutnya lahir lagi yang terakhir."

Kaisar menggeleng sambil mengacak rambut depan Sharma. "Itu tidak masuk akal, Sharma."

"Masuk akal, Yang Mulia. Buktinya saja perut hamba sebebar ini. Mungkin anak kedua dan ketiga masih kecil-kecil," Sharma masih keukueh dengan pendapatnya.

Kaisar menarik nafas lagi. "Kalau begitu mengapa hanya ada tiga? Mengapa tidak seratus saja sekalian?" Jujur saja Kaisar sedikit kesal karena sulit membuat Sharma paham.

Kaisar & Sang AmoraWhere stories live. Discover now