Jadi Suami Kedua, Mau?

24.2K 2.8K 37
                                    

Kembali ke kediaman calon Selir. Terjadi kehebohan besar karena calon Selir ke-enam kabur saat akan diberikan ramuan oleh tabib. Calon Selir yang awalnya terbaring lemah tiba-tiba berlari saat tabib datang membawa ramuan. Para pelayan dan beberapa penjaga terpaksa mengejar calon Selir agar mau minum obat. Akhirnya terjadilah kejar-kejaran di lapangan kediaman calon Selir.

"Nona, berhenti! Kami sudah lelah." Wenari benar-benar sudah lelah. Calon Selir yang satu ini memang bukan tandingannya.

"Huft, Nona, kemarilah." Nora masih sibuk mengejar walaupun sudah beberapa kali hampir terjungkal.

Dua pengawal sudah beberapa kali bertabrakan karena mengepung Sharma namun gadis itu selalu berhasil lolos. Sedangkan para penjaga dan pelayan lainnya hanya bisa menonton aksi kejar-kejaran itu. Mereka enggan untuk turut campur. Biarlah empat orang itu yang mengejar dan menangkap calon Selir yang lincah.

Yang dikejar malah tertawa karena tiba-tiba teringat akan masa kecilnya sebelum identitasnya diketahui oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Dulu kakak-kakaknya mengepungnya karena tidak mau makan obat. Dan lagi-lagi ini terjadi. Dua pelayan dan dua pengawal dibuat kewalahan dengan lari kudanya Sharma.

"Ayo kejar lagi." Sharma mengangkat roknya lebih tinggi agar mudah saat berlari.

"Nona, Nona harus minum obat agar cepat sembuh. Pengangkatan Selir harus segera dilaksanakan, Nona." Nora benar-benar hampir kehilangan tenaga. Akhirnya ia menyerah dan memilih berhenti. Sedangkan Wenari dan dua penjaga lainnya masih sibuk mengejar.

"Ayo lagi. Masa begitu saja sudah menyerah." Sharma berlari sambil tertawa terbahak-bahak. Sungguh senang sekali rasanya bisa mengerjai pelayan pribadinya yang biasanya selalu mengatur.

Sharma berlari mengitari lapangan. Demam yang tadi dirasakan sudah lenyap entah kemana. Mungkin karena ia sudah mandi keringat akibat berlari keliling lapangan. Sampai pada akhirnya.

Sret

Entah dari mana asalnya, tangan mungil Sharma ditarik hingga tubuh Sharma oleng ke kanan. Sebelum tubuh mungil itu mendarat di tanah, sebuah tangan kekar berhasil meraih pinggangnya lalu menariknya untuk kembali berdiri dengan baik.

Para penjaga dan pelayan menghembuskan nafas lega. Akhirnya semua ini berakhir. Mereka yakin kali ini calon Selir tidak akan bisa kabur lagi.

"Mau ke mana, Nona?"

Woaah ... Sangat tampan.

Sharma melongo melihat pria berambut pirang yang berdiri di depannya. Pria yang satu ini sangat tampan. Harus Sharma masukkan ke dalam list pria tertampan di dunia nomor dua setelah Kaisar. Pria ini tampak sedikit lebih muda dari Kaisar, tapi wajah tampan dan dewasa milik Kaisar tentu saja tidak terkalahkan.

"Hormat hamba, Pangeran Giler." Semua pelayan dan pengawal langsung membungkuk memberikan hormat.

Pria itu mengabaikan semua pelayan dan hanya fokus pada Sharma yang masih melongo terpesona.

"Salam calon Selir ke-enam." Pangeran Giler meletakkan tangan kanan di dada sebelah kiri lalu menunduk sebentar.

"Pangeran Giler?" Sharma malah bertanya.

Dari cerita pelayan pribadinya tadi malam. Pangeran Giler adalah orang pertama yang tiba di kamarnya setelah teriakkan itu terjadi. Namun pada saat itu ia sudah tidak sadarkan diri, jadi tidak tahu seperti apa Pangeran Giler itu.

"Anda membuat ulah lagi, Nona. Apakah saya harus melaporkan ini pada Yang Mulia?" Pangeran Giler tersenyum miring. Senyum yang menyebalkan.

Belum sempat memproses ucapan Pangeran Giler di otaknya, tangan Pangeran Giler sudah menariknya keluar dari arena lapangan. Entah ke mana tujuannya, Sharma hanya bisa patuh.

"Jadi suami keduaku, mau tidak?"

Pertanyaan Sharma berhasil membuat langkah kaki Pangeran Giler terhenti seketika. Tanpa menoleh, Pangeran Giler menjawab, "Tunggu kepalaku ditebas oleh Yang Mulia." Kemudian Pangeran Giler meneruskan langkahnya.

Sharma membulatkan matanya ketika Pangeran Giler terus membawanya ke sebuah bangunan yang sangat besar. Bangunan ini bukan Istana utama, namun besarnya hampir sama. Untuk saat ini Sharma belum mengetahui bangunan apa yang ada di depannya ini. Yang pasti, bangunan ini sangat mewah dengan cat putih dan ukiran emas di sepanjang dinding luar.

"Pangeran membawa ku ke mana?" tanya Sharma ketika kakinya sudah menginjak teras.

Pangeran Giler menoleh sedikit. "Membawa Anda ke Yang Mulia."

Sharma menarik tangannya dengan sekali hentakan. Hal itu membuat Pangeran Giler berbalik badan dan menatap Sharma dengan mata coklatnya. "Ada apa?" tanya Pangeran Giler.

Sharma memasang wajah cemberut lalu melipat tangan di dada. "Aku tidak mau," tegas Sharma.

Pangeran Giler mengembangkan senyum khasnya. "Kenapa tidak mau? Semua Selir berharap bisa bertemu selalu dengan Yang Mulia. Sayang sekali Yang Mulia tidak pernah memperhatikan mereka sama sekali."

Sharma masih dengan mode kesalnya. Jika Pangeran Giler melaporkan keributan tadi, entah apa yang akan dilakukan oleh Kaisar. Kata-kata kakaknya selalu tertanam di otaknya. Kali ini mungkin masih selamat, tapi tidak dengan lain kali. Dan Sharma menyadari bahwa 'kali ini' sudah sering ia gunakan. Maka ia akan mendapatkan 'lain kali'.

Huhuhu, aku belum mau mati. Bebep Haikal, bawa aku kembali ke desa Teh.

Selagi Sharma masih melamun, Pangeran Giler kembali menarik tangan Sharma dan membawanya ke pintu besar yang dijaga oleh empat orang penjaga. Semua penjaga memberi hormat kemudian membukakan pintu untuk Pangeran Giler. Tidak semua orang diperbolehkan masuk, kecuali diperintah oleh Kaisar. Tapi ini tidak berlaku untuk Pangeran Giler dan Permaisuri.

"Ingin ku tebas tanganmu, Pangeran?" Suara itu menggema di ruangan yang sangat luas. Hanya ada tiga bangku panjang dan meja emas di tengah-tengah. Ruangan luas yang kosong itu malah membuat kesan menakutkan bagi orang yang memasukinya.

Pangeran Giler langsung melepaskan tangan Sharma kemudian membungkuk. "Hormat Hamba, Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus."

Sharma celingak-celinguk mencari sosok yang ia kenal suaranya. Siapa lagi yang memiliki suara berat dan tegas, sekaligus selalu memberikan kesan horor jika bukan Kaisar Ariga. Sharma menoleh ke samping kanan. Dari sana ia mendengar suara langkah kaki yang tegas. Tak lama kemudian terlihatlah sosok pria jangkung dengan jubah putih bercorak daun berwarna emas. Mata elangnya itu tertuju pada Pangeran Giler yang masih membungkuk.

Sharma terpesona oleh ketampanan pria berambut hitam pekat dengan guratan wajah yang tegas. Sungguh luar biasa tampan. Bahkan ia lupa untuk memberikan hormat pada pemimpin kerajaan.

"Apa yang membawa mu kemari, Pangeran?" Kaisar berjalan ke arah bangku berukir emas.

Pangeran Giler menegakkan badannya kemudian menoleh pada Sharma yang masih mematung menatap Kaisar tanpa berkedip. "Hamba membawa berita. Hari ini calon Selir kembali membuat keributan."

Tahu dirinya diikut sertakan dalam pembicaraan, Sharma menoleh cepat pada Pangeran Giler. Ia mengancam lewat matanya. 'Jangan melapor' itulah yang ditangkap oleh Pangeran Giler.

Kaisar menyibakkan jubahnya sedikit sebelum duduk di bangku. "Benarkah itu, Nona Sharma?" Mata Kaisar berpindah ke arah Sharma.

Sharma hanya menyengir kuda.
Awas saja iler, akan ku tendang wajah tampanmu itu.

"Haruskah aku berikan sedikit hukuman agar kau mengerti arti peringatan dari seorang Kaisar?" tanya Kaisar dengan sedikit nada ancaman.

Tangan Sharma berubah dingin. Tanpa diancam saja ia sudah merasa terancam. Apalagi dengan nada ancaman seperti ini. Sungguh Sharma takut, namun sekali lagi ia tidak boleh lemah. Ia harus hidup. Hidup adalah tujuan utamanya dalam hidup ini.

"Ampun Yang Mulia. Hamba hanya takut minum ramuan. Tidak ada niatan untuk membuat keributan." Sharma menjawab dengan nada tenang. Wajahnya menunduk untuk menyembunyikan wajah takutnya.

Kaisar menatap Sharma dengan lekat. "Baiklah, aku tidak akan mencambukmu karena melanggar peringatan dari Kaisar. Tapi ...."

Sharma melotot dalam tunduknya. Gila! Cambuk? Tidak mendengarkan peringatan Kaisar hukumannya cambuk? Kejam sekali.

Kaisar & Sang AmoraWhere stories live. Discover now