Permaisuri Thanu

21.7K 2.6K 57
                                    

Acara pernikahan berlangsung tak terlalu lama. Sekarang adalah waktunya memberikan ucapan selamat dan juga pemberian hadiah dari para pejabat dan juga para selir lain kepada Sharma. Sharma duduk di kursi yang berdampingan dengan kursi kebesaran Kaisar.

Mata Sharma berbinar-binar ketika para pejabat dan bangsawan memberikan hadiah mewah yang menarik dan indah. Sharma dengan senang hati mengucapkan terima kasih dengan senyum lebar. Sedangkan Kaisar, pria itu hanya duduk tegap dengan wajah datar. Sesekali ia melirik ke arah Sharma yang sangat antusias saat menerima hadiah.

"Hormat kami Permaisuri Thanu."

Semua mata mengalih ke arah pintu masuk aula, begitu pula dengan Sharma. Dan saat itu pula Sharma melongo melihat sosok wanita yang teramat cantik. Kulitnya putih bersih bercahaya, tubuhnya tinggi dan ramping bak seorang dewi di cerita dongeng, rambutnya hitam panjang, pupil matanya juga hitam seperti Kaisar, hidung mancung, bulu mata lentik, alis tebal, dan bibir yang indah saat tersenyum.

Wah ... Bagaikan langit dan solokan jika dibandingkan dengan ku.

Permaisuri Thanu membungkuk memberi hormat pada Kaisar. "Hormat hamba Yang Mulia Kaisar Negeri Alrancus. Dan selamat atas pernikahan barunya."

Oh suara itu sangat merdu sekali. Pantas saja Kaisar tidak mau menyentuh Selir lain. Jika sudah terbiasa melihat yang bening, melihat yang burik sedikit tidak akan mau.

Sharma masih melongo melihat kecantikan Permaisuri yang katanya sangat dicintai oleh Kaisar. Yang dikatakan oleh kakaknya memang benar, Permaisuri sangat cantik seperti bidadari.

Kaisar bangkit dari singgasana, kemudian berjalan menuruni tangga lalu menghampiri Permaisurinya. "Terima kasih sudah datang. Seharusnya Permaisuri tidak memaksakan diri. Kondisi Permaisuri belum sehat."

Sharma tidak menyangka Kaisar bisa bicara sedikit lembut pada orang lain. Ya walaupun hanya sedikit, tapi tetap saja berbeda saat Kaisar berbicara dengan dirinya. Rasanya Sharma ingin menggetok kepala Kaisar dengan sepatu tumit tingginya.

"Tidak apa, Yang Mulia. Ini adalah hari besar." Permaisuri mengalihkan pandangannya pada Sharma yang masih duduk di kursinya tanpa memberi hormat. Namun jelas Permaisuri tahu bahwa gadis itu tengah kesal pada seseorang. "Selir Sharma, selamat. Maaf saya baru bisa menemui Anda."

Kaisar menoleh ke belakang. Dilihatnya Sharma masih tidak memberikan penghormatan untuk Permaisurinya. Kaisar pun menatap tajam pada Sharma dan memberikan perintah lewat matanya.

Ish, menyebalkan.

Sharma berdiri lalu membungkuk hormat. "Hormat hamba Permaisuri Thanu."

Permaisuri tersenyum lembut. Namun senyum itu tiba-tiba hilang karena batuk yang tiba-tiba datang. Kaisar pun membantu Permaisuri duduk di tempat duduk Permaisuri seharusnya.

Kursi Permaisuri di aula itu terletak di samping kanan kursi Kaisar. Posisinya dua anak tangga lebih rendah dari kursi Kaisar. Sedangkan kursi Sharma berada di sisi kiri dan empat anak tangga lebih rendah dari kursi kebesaran Kaisar.

Seorang penjaga membawakan sebuah kursi biasa untuk Kaisar. Kursi itu diletakkan tepat di sebelah kursi Permaisuri. Kaisar duduk di sana tanpa peduli pada gadis yang baru saja diangkat menjadi Selir.

Sharma menarik nafas panjang. Entah mengapa rasanya sesak sekali. Walaupun ia tidak mencintai Kaisar, setidaknya ia menyukai Kaisar. Melihat Kaisar tidak mempedulikan dirinya dan lebih memperhatikan Permaisurinya, Sharma menjadi sangat kesal. Pesta yang tadinya terasa sangat menyenangkan kini terasa hampa dan sumpek. Apalagi ditambah oleh mata para Selir lain yang siap mencakar wajahnya, rasanya Sharma benar-benar ingin pergi.

"Yang Mulia, hamba ingin pergi ke kamar kecil sebentar," ucap Sharma sambil membungkuk.

Kaisar hanya mengangguk lalu kembali fokus pada Permaisurinya.

Sharma berjalan cepat keluar dari aula. Begitu keluar dari hiruk-pikuk pesta, Sharma melepas sepatu tumit tingginya lalu melemparnya ke sembarang arah. Sekarang ia benar-benar sebal karena merasa tidak dihargai oleh Kaisar. Kaisar jelas-jelas mengabaikan dirinya di depan banyak orang. Sungguh menyebalkan.

Sharma menjinjing ujung gaunnya agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Ia berjalan menuju belakang istana. Sekarang ia tidak peduli lagi dengan hantu muka rata ataupun hantu-hantu lainnya. Jika makhluk itu menampakkan diri, ia akan melampiaskan kekesalannya pada makhluk itu. Dia akan mencakar, menjambak, dan menendang makhluk itu habis-habisan, dan membayangkan jika itu adalah Kaisar.

"Ish! Menyebalkan!" Sharma menendang kerikil untuk meluapkan emosinya.

Bagaimana tidak emosi. Ia pikir ia akan bahagia di malam pengangkatan dirinya menjadi Selir. Ia pikir ia akan menjadi pusat perhatian sebagaimana pengantin baru yang duduk di atas pelaminan. Nyatanya semua orang memberikan salam dan hadiah hanya untuk formalitas. Ketika Permaisuri cantik itu muncul, semua orang memuja nya. Termasuk Kaisar. Tiba-tiba ia berubah seperti debu yang duduk di kursi pengangkatan Selir.

"Hormat hamba, Selir Ke-enam."

Sharma berbalik badan ketika mendengar dua pengawal memberikan hormat padanya. Ia tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Terima kasih," ucap Sharma yang baru kali ini mendapatkan penghormatan. Sayang di telinganya kata 'selir ke-enam' terdengar seperti 'istri ke-enam' atau 'pelakor ke-enam'. Sedih😭

"Selir Sharma, kami diperintahkan Yang Mulia untuk segera membawa Anda kembali ke aula pesta." Mereka memang diperintah Kaisar mencari Sharma karena Selir baru itu lama tidak kembali.

Sharma memutar mata jengah. "Katakan pada Yang Mulia, aku sakit perut."

Dua pengawal itu saling berpandangan. "Tapi Selir Sharma, kami tidak mungkin kembali tanpa Anda. Kepala kami taruhannya." Kemudian mata kedua pengawal itu menatap ke arah kaki Sharma yang tanpa alas kaki.

"Selir Sharma, Anda tidak memakai alas kaki. Bagaimana jika Anda terluka?" ucap salah satu pengawal.

"Kalau begitu gendong aku sampai ke aula," ucap Sharma dengan nada sedikit ketus. Suasana hatinya sedang buruk. Jangan ada yang mendekat jika tidak ingin tercakar oleh macan ompong yang satu ini.

Para pengawal itu menunduk takut. "Ampun Selir Sharma, kami tidak berani. Yang Mulia akan memenggal kepala kami."

Sharma tertawa kencang. "Dia tidak peduli, jadi jangan khawatir." Kemudian Sharma ingat sesuatu. "Oh ya. Bagaimana kalau kita adu kekuatan?"

Kedua pengawal itu saling berpandangan, mereka tidak mengerti. "Maaf Selir Sharma, maksudnya bagaimana?"

"Aku sedang bosan. Aku ingin bermain dengan kalian sebentar sebelum kembali ke aula. Ayo kita adu kekuatan otot tangan." Sharma menggulung lengan baju panjangnya hingga terlihat lengan yang memiliki otot kapas. "Ayo tanding panco."

"Panco?" tanya para pengawal yang sedang terkejut.

Sharma mengangguk antusias. Dari ekspresi para pengawal ini, ia yakin mudah untuk dibujuk. "Ayo kita cari mejanya."

Para pengawal itu menggeleng. "Maaf, Selir. Anda harus segera kembali ke aula. Jika tidak, Yang Mulia akan murka."

Sharma melipat tangan di depan dada. "Panco atau tidak ke aula sama sekali? Aku tidak akan kembali sebelum kita panco lebih dulu."

"Tapi-"

"Tidak ada tapi-tapian. Ini perintah dariku!" tegas Sharma sok galak.

Para pengawal tidak memiliki pilihan lain. Yang penting mereka bisa membawa Selir baru ini kembali ke aula pesta.

Kaisar & Sang AmoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang