Mimpi Buruk

20.7K 2.7K 39
                                    

Eike udah up tiap malem nih ye. Ente jangan lupe teken tombol bintang ame jangan lupe komentarnye. Neken tombol bintang kagak bikin kere kok. Kagak bayar alias gratis. Kagak juga perlu otot bisep. Ringan, tinggal klik aje. Ya biar ane semangat gitu ye. Okeh, lanjut ....!

"Yang Mulia. Bolehkah hamba kembali ke kediaman hamba?" tanya Sharma sambil mengikuti Kaisar dari belakang.

"Tidak," jawab Kaisar terus berjalan.

Sharma melangkah semakin cepat karena langkah Kaisar semakin lebar. "Kenapa? Hamba ingin istirahat, hamba lelah."

Kaisar memasuki sebuah ruangan. Sharma tidak tahu ruangan apa itu. Terdapat banyak buku di sana, seperti perpustakaan kota. Kaisar berjalan ke arah meja. Meja itu adalah satu-satunya meja di sana. Selebihnya adalah buku yang tertata rapi di rak.

"Ini ruang baca Yang Mulia?" tanya Sharma takjub. Mewah dan indah, pasti akan sangat nyaman membaca buku di sini. Sharma berjalan ke salah satu rak berukir perak.

"Menurut mu?" Menurut Kaisar pertanyaan Sharma tidak membutuhkan jawaban.

"Oh, ini ruang bersemedi ya." Sharma kesal karena pertanyaannya tidak dijawab, jadi ia berbicara asal. "Pantas saja Yang Mulia disukai banyak orang dan dikejar oleh banyak wanita. Ternyata Yang Mulia bersemedi di sini dan belajar ilmu semar mesem."

Kaisar melirik Sharma sambil menaikkan satu alisnya. Ia tidak habis pikir mengapa Sharma sering kali berbicara ngawur. Dan kelihatannya Sharma tak berpikir dua kali sebelum berbicara. Buktinya gadis itu sedang mengamati rak buku dengan serius, tapi mulutnya sangat lancar berbicara. Itu artinya mulutnya lancar berbicara tanpa harus diperintah oleh otak. Pantas saja Selirnya yang satu ini kadang cerewet sekali.

"Yang Mulia, bolehkah hamba membaca salah satu buku? Sepertinya buku berwarna hijau ini menarik." Sharma menarik satu buku berjudul 'Burung Phoenix'.

Kaisar sedang tidak ingin berbicara banyak. Sebenarnya tidak ada yang pernah membaca buku-buku yang tersimpan di ruang bacanya selain dirinya sendiri. Namun kali ini ia membiarkan Sharma membacanya. Apalagi buku yang Sharma ambil hanyalah buku legenda yang hampir tidak dipercayai oleh Negeri Alrancus. Buku itu lebih dianggap sebagai dongeng anak.

"Terserah. Asalkan jangan membuat keributan lagi." Kaisar hanya ingin hari-harinya berjalan damai.

Sharma berjingkrak senang. Ia memang tidak suka membaca buku ilmu pengetahuan, tapi jika yang di hadapannya adalah buku cerita, Sharma mendadak menjadi kutu buku.

"Terima kasih, Yang Mulia." Sharma mengambil buku itu lalu duduk lesehan di lantai dingin.

Kaisar melirik sekilas kemudian melanjutkan membaca buku yang sejak awal diletakkan di atas meja.

Dua jam kemudian, Kaisar menutup buku yang baru saja selesai dibaca. Tak terasa hari sudah beranjak malam. Kaisar menghela nafas kemudian menoleh ke tempat Sharma duduk. Begitu melihat Sharma, Kaisar kembali menarik nafas. Tadinya ia pikir buku adalah pawang Sharma karena bisa membuat gadis itu diam selama dua jam tanpa suara. Tapi ternyata ia salah, gadis itu diam karena gadis itu sedang tertidur dengan nyenyak.

"Gadis yang satu ini tidak habis-habisnya membuat aku turun tangan."

Kaisar berdiri lalu berjalan ke arah Sharma. Ia berjongkok mengambil buku yang Sharma baca. Ternyata Sharma baru membaca tiga bab. Berarti selebihnya Sharma menghabiskan waktu untuk tidur. Kaisar menghela nafas. Kaisar melipat kertas di lembar yang yang terakhir Sharma baca lalu diletakkan di atas meja bacanya.

"Dia hobi merepotkan orang lain."

Kaisar mengangkat tubuh Sharma dengan lembut, ia tidak ingin mengganggu tidur pulas Selir ke-enamnya. Kaisar membopong Sharma keluar ruang baca.

Kaisar membaringkan tubuh Sharma ke ranjang dengan hati-hati. Setelah merapikan posisi tidur Sharma, Kaisar menyelimuti nya dengan selimut putih bersulam emas. Ya, Kaisar membawa Sharma ke kamarnya. Ia tidak ingin membuat tangannya sakit hanya untuk mengantarkan Sharma ke kediaman Selir.

Lagi pula ia ingat terakhir kali Sharma pulang dari istana pribadi Kaisar, gadis ini mendapatkan masalah. Selir Rachi cemburu berat karena Sharma dibawa masuk ke istana yang belum pernah Selir lain pijak dan akhirnya berencana membunuh Sharma.

"Hooaaam."

Kaki yang baru saja diletakkan rapi oleh Kaisar kini mengangkang lebar. Selimut yang rapi itu tidak lagi menyelimuti Sharma dengan benar. Melihat itu, Kaisar hanya bisa menghela nafas. Ia merasa kasihan pada Anela yang merapikan tempat tidurnya besok.

Kaisar belum mandi sejak kembali dari pulau pengasingan. Sekarang ia ingin mandi terlebih dahulu sebelum bergulat dengan laporan-laporan yang sudah menumpuk di meja kerjanya. Kaisar berjalan ke arah kamar mandi sembari melepaskan jubahnya.

"Haikal ...."

Gerakkan Kaisar berhenti ketika telinganya menangkap nama pria yang disebut oleh Sharma saat bermimpi.

"Siapa dia?" tanya Kaisar pelan. Pada dirinya sendiri.

"Bebeb Haikal, kau jahat. Aku rindu."

Kaisar menatap tajam pada Sharma yang masih memejamkan mata. Rindu? Ia tidak tahu siapa itu Haikal. Namun setelah Sharma mengucapkan kata 'rindu', Kaisar tahu Haikal adalah orang spesial untuk Selirnya ini. Ternyata ia tidak perlu khawatir tentang Pangeran Giler, orang yang disukai oleh Sharma adalah Haikal. Tanpa ingin mengambil pusing lebih lanjut, Kaisar memilih melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian Kaisar telah selesai dengan ritual mandi malam. Kaisar memang tidak mengenal waktu mandi. Baik pagi, siang, sore, atau bahkan tengah malam pun Kaisar akan mandi jika tubuhnya sudah terasa tidak nyaman karena keringat.

Kaisar keluar kamar mandi dengan pakaian lengkapnya. Rambut hitamnya ia keringkan dengan handuk. Kaisar duduk di kursi menghadap cermin. Netra hitamnya menatap pantulan dirinya di cermin.

Matanya, rahangnya, hidungnya, dan bibirnya adalah jiplakan dari wajah Kaisar terdahulu. Ia bangga memiliki wajah tampan ini, namun terkadang merasa benci. Ia memiliki wajah yang mirip sekali dengan 'Kaisar kejam' yang warga takuti. Tapi ia tidak sekejam ayahnya, ia masih memiliki sedikit hati nurani.

Kaisar tidak ingin berlama-lama mengingat ayahnya. Jika tidak, sesuatu di dalam dirinya akan bangkit, dan itu pasti akan menyakiti orang yang ada disekitarnya. Akhirnya Kaisar pun bangkit dan berniat meninggalkan kamar.

"Serigala kutub itu sudah menjadi suamiku sekarang."

Belum sempat keluar, Kaisar mendengar suara Sharma. Kaisar menaikkan satu alisnya. "Serigala kutub? Suami?" Kaisar menoleh ke tempat Sharma berbaring. Gadis itu terus mengoceh dalam tidurnya.

"Hmm, dia sangar dan menakutkan. Dia juga kaku seperti batang pohon."

Kaisar melipat tangan di depan dada. "Oh, jadi dia hobi mengumpat di belakangku. Bahkan di dalam mimpi sekalipun dia masih sempat mencaci ku."

Sharma menggeleng. "Tidak! Jangan!" Tiba-tiba keringat dingin keluar dari kening Sharma.

Kaisar yang tadinya kesal kini berubah khawatir. Ia berjalan ke arah ranjang kemudian duduk di samping Sharma yang berbaring. Tangan kanan Kaisar mengguncang bahu Sharma agar Selirnya segera bangun. "Hei, kau bermimpi apa?"

"Jangan sakiti aku! Apa maumu?" Sharma malah mencekik dirinya sendiri.

Tangan Kaisar sigap menahan tangan mungil Sharma. Entah mengapa kali ini tenaga Sharma lebih kuat dari pada tenaganya. "Sharma bangunlah! Kau bisa membunuh dirimu sendiri."

"Yang Mulia? Yang Mulia di mana?" Sharma malah bertanya dengan penuh harap. Seolah mengharapkan kehadiran Kaisar di dalam mimpinya.

"Aku di sini. Cepat bangun, Sharma!" Kaisar sekuat tenaga mencoba melepaskan cekikan tangan Sharma.

"Yang Mulia tolong!" Sharma malah menangis dalam mimpinya. Pipinya sudah memerah karena cekikan dirinya sudah menghentikan darah yang mengalir ke otak.

"Sharma apa yang terjadi padamu? Mengapa kau tidak bisa bangun?" Kaisar benar-benar kalut. Bisa-bisanya tenaga Sharma lebih kuat dari pada tenaganya. Kaisar sudah mengeluarkan seluruh tenaganya, bahkan sampai berkeringat.

Sring

Hayo, ada apa ya?

Kaisar & Sang AmoraWhere stories live. Discover now