[Season 3] Part 6 - Grandes Luchadores Marquez

1K 44 41
                                    

SEBENARNYA aku agak kurang setuju dengan nama itu. Karena nama "Luca" sama dengan nama adik Valentino Rossi. Tapi Mia mengatakan padaku, nama anak kami dieja menjadi "Lucha" bukannya "Luca".

Selain itu dia mengatakan, dia suka artinya dalam bahasa Spanyol.

"Kalau aplikasi penerjemahku tidak salah, artinya; Pejuang Hebat Marquez. Ya kan?"

Aku tersenyum geli. "Kau memakai aplikasi penerjemah?"

Mia terkekeh sedikit. "Iya, aplikasi ini berguna sekali."

"Terjemahannya bagus juga," kataku. "Ya sudah, aku setuju."

Anakku―Lucha, dia lahir di pertengahan bulan Agustus. Pada bulan ini aku masih harus menjalani beberapa seri balapan sampai November nanti.

Untuk itulah aku bersyukur karena dengan kemurahan hati, lagi-lagi Ibuku mau menjaga Mia dan bayi kami. Sementara Tyra sudah sibuk bekerja lagi dengan artis lain, namun sesekali dia datang berkunjung menjenguk Mia.

Cuaca terik di sirkuit Inggris pada pekan balapan. Dari kejauhan, aku melihat aspal seperti terbakar dengan asapnya menguap ke langit. Aku sudah biasa dengan segudang jadwal padat dari konferensi pers, bertemu penggemar, sampai latihan bebas. Namun karena cuaca yang menggila ini membuatku hampir dehidrasi. Di sela-sela kegiatanku yang melelahkan, aku mencuri waktu untuk menghubungi Mia.

"Dia sedang apa?" tanyaku di telepon. Dia yang kumaksud pastilah anak kami. Lucha.

"Dia sedang tidur, Marc," jawab Mia.

"Oh iya?" Aku mengibas-ngibaskan kaos polo-ku berusaha mendapatkan angin tambahan, namun rasanya sia-sia mencari oksigen di udara yang sangat lembab dan kering. "Di sini panas sekali, Mia."

"Sama, Marc," jawab Mia. "Di Spanyol juga. Karena itulah Lucha gelisah dari semalam."

Membayangkan bayi kecil kami berada di udara sepanas yang kurasakan membuat keringatku menetes makin deras. "Kau pasti kesusahan," kataku.

"Yeah, dia menangis terus," kata Mia.

Aku diam sebentar karena merasa bersalah. Kupikir akan lebih mudah jika aku ada di samping Mia sekarang. Dia pasti sangat kelelahan mengurus bayi kami. Meskipun ada Ibu, tapi rasanya lebih baik jika aku ada di sana juga.

Sepertinya Mia langsung memahami kegundahanku, jadi dia memotong jeda diantara kami. "Hey, jangan kuatir. Aku dan Lucha baik-baik saja, kok."

"Maaf, aku tidak ada di sana," kataku sedih.

"Tidak apa-apa, Marc." Suara Mia terdengar sangat lembut. "Fokus saja pada balapanmu. Aku dan Lucha selalu mendukungmu."

Aku jadi tersenyum dan bersyukur setengah mati karena memiliki istri yang sangat pengertian. "Terima kasih. Doakan aku menang ya!"

Mia tertawa kecil. "Pasti," kata Mia. "Aku merindukanmu."

"Wah, kau merayuku!" seruku.

"Benarkah? Kurasa tidak." Mia tertawa lagi.

"Iya, kau merayuku!" Aku berkeras. Tapi seperti biasa Mia masih mempertahankan gengsinya dan tidak mau mengaku. Jadi aku membalasnya. "Aku juga merindukanmu, Mia. Setelah balapan selesai nanti, aku akan langsung pulang."

"Oke, jaga dirimu. Berhati-hatilah," kata Mia.

Waktu berlalu dengan lambat tanpa Mia di sisiku. Matahari dan debu-debu Inggris yang tak mau bekerja sama, sedikit menyulitkanku untuk mendapat podium satu. Namun aku bersyukur karena bisa mengakhiri balapan di posisi dua dengan selamat dan meraih poin penting untuk kejuaran.

Kalau dipikir-pikir, baru kali ini aku benar-benar ingin cepat-cepat menyudahi musim balapan dan kembali ke rumah Barcelona untuk bercengkrama dengan Mia dan Lucha.

Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction (DITERBITKAN)Where stories live. Discover now