[Season 3] Part 14 - WHERE IS HIM?

629 38 19
                                    

"SETELAH sembuh, aku mau coba lagi."

Mendengar itu, rasanya aku ingin menjerit di depan wajahnya. Menahan kedua tangannya, mengunci pintu selamanya agar dia tidak kemana-mana.

Bagaimana bisa aku mempertaruhkan nyawa anakku lagi? Tidak. Dia masih sangat kecil.

Tapi aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Begitu juga dengan Marc. Kami berdua bisu sesaat dan berpandangan satu sama lain karena tak ingin menghancurkan mimpi Lucha.

Marc yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya. Dia memajukan tangannya dan mengelus kepala Lucha perlahan. "Yang penting kau sembuh dulu ya?"

Aku lega karena Marc bisa punya kata-kata yang menenangkan Lucha sekaligus menenangkanku. Setelah itu Lucha langsung tersenyum.

"Baiklah, Pa." Jari-jarinya yang mungil berusaha melepaskan tabung di hidungnya sambil batuk-batuk. "Aku tidak ingin pakai ini."

"Jangan, jangan." Aku memasangkan tabung itu lagi di hidungnya.

"Aku mengantuk, Ma." Mata Lucha mengerjap lagi.

"Tidurlah," kataku lalu mengecup keningnya. Saat mata Lucha sudah tertutup, aku menatap Marc.

"Aku akan memanggil dokter," kataku. Tapi Marc memegangi lenganku.

"Biar aku saja." Marc bergegas keluar dari ruangan dan aku menjaga Lucha untuk beberapa saat sampai dia kembali bersama dokter.

Setelah Lucha diperiksa dan dia kembali beristirahat, yang bisa kulakukan dan yang ingin kulakukan hanyalah memandanginya dengan duduk di kursi di samping Lucha.

Tetapi saat melihat Marc yang terdiam menatap kami dari sofa di seberang ranjang Lucha, aku jadi merasa iba juga padanya.

"Kau pasti lelah," kataku sambil memandangi wajahnya.

Marc mengangguk. Dia merentangkan tangannya lalu menyandarkan kepalanya pada punggung sofa merah marun itu. "Tapi kau tahu aku tidak akan bisa tidur kalau aku sedang memikirkan sesuatu," kata Marc.

Aku segera mendekat ke arahnya, lalu duduk di samping Marc. "Sini," kataku lalu meraih kepalanya, kemudian meletakkan kepalanya di atas pangkuanku.

Marc tersenyum manis. Tangannya langsung bergelung dan kakinya naik ke atas sofa.

"Ini adalah posisi favoritku," kata Marc.

Aku mengangguk. Aku tahu ini adalah posisi favoritnya. Dulu, saat masalah dirinya dengan Valentino Rossi yang menghebohkan seluruh dunia, saat semua orang... hampir semua orang membenci Marc, Marc sama sekali tidak bisa tidur.

Tapi aku yakin penyebabnya bukan karena Marc takut dibenci orang, melainkan karena perasaan tertekan. Dia memang selalu memendam perasaan sendiri dan menampakkan senyum palsu di depan semua orang saat hatinya sedang sedih. Tentu saja, tidak ada orang yang bisa tahan berpura-pura selamanya. Jadi saat itu, dia jatuh padaku. Sama seperti sekarang.

Aku memandangi wajahnya yang ada di pangkuanku. Meskipun sedang sedih, namun mata Marc Márquez masih nampak berbinar-binar dan indah untuk dipandangi. Bibir lembutnya merona merah. Namun dari segala kegairahan yang dimilikinya itu, aku tahu dia sangat lelah dan tak sanggup terjaga lagi. "Tidurlah," bisikku.

Marc mengangguk. Baru beberapa detik dia memejamkan matanya, Marc membukanya lagi. "Maaf," kata Marc.

"Tidak apa-apa." Aku mencium bibirnya. Setelah itu Marc langsung tertidur di pangkuanku.

Meskipun gelisah, namun akhirnya aku tertidur juga karena setidaknya Marc ada di sisiku dan Lucha masih hidup. Saat membuka mata dan melihat ke arah jam dinding, aku melihat jarum pendeknya sudah menunjukkan angka enam dan jarum panjangnya di angka sebelas.

Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang