[Season 3] Part 13 - Motocross

629 44 21
                                    

MIA POV -

SAAT menerima telepon dari Marc, aku sedang memasak. Tetapi saat mendengar suaranya lemah dan terbata-bata, aku tahu ada yang tidak beres.

Setelahnya aku langsung meninggalkan masakanku tanpa memedulikannya sama sekali. Yang penting kompor sudah mati, pikirku, lalu aku langsung meluncur mengendarai mobil ke rumah sakit.

Jujur saja aku benci mengakuinya. Menerima kabar buruk dari telepon benar-benar menghancurkan hatiku. Ini seperti membuatku mengingat kembali kejadian kelam dulu―saat Alya meninggal.

Tapi ini anakku. Darah dagingku. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada Alya bisa membuatku jadi setengah gila, maka apabila itu terjadi pada Lucha, itu pasti bisa berdampak lebih buruk padaku. Kedua tanganku bergetar di stir mobil, tapi aku menguatkan diriku sendiri agar bisa tetap selamat sampai di rumah sakit.

Setibanya di sana, aku melihat Marc berdiri di depan ruang UGD. Aroma obat-obatan rumah sakit membuatku mual seketika. Aku menghambur ke arah Marc yang raut mukanya pucat pasi. "Dia tidak apa-apa kan?"

Marc mengangkat wajahnya lalu memelukku erat. Aku tidak suka perlakuannya itu karena seolah-olah dia takut aku akan langsung menangis atau meledak mendengar jawabannya.

Dengan cepat aku melepaskan pelukannya. "Jawab aku, Marc!"

Aku mulai khawatir saat dia hanya diam. Giginya bergemeletuk dan matanya berkaca-kaca. Napasku sesak seketika dan aku menelan ludahku pelan.

"Maafkan aku, Mia," katanya lemah. Dia menunduk. "Aku tak bisa menjaganya dengan baik."

"Apa maksudmu?" tanyaku. Aku berusaha menjaga agar suaraku tetap stabil. Tapi bibirku bergetar. "Dia masih hidup kan?"

Marc mengangkat wajahnya dan menatapku dalam. Sumpah, aku tidak bisa lagi mendengar kalau sampai dia menjawab tidak.

"Ya, tentu saja dia masih hidup," kata Marc. Aku menghembuskan napas lega. Rasanya paru-paruku bisa menghirup oksigen lagi. "Tapi tadi dia sempat kritis. Lehernya juga patah. Tangan kanannya retak."

Aku mengantupkan kedua tanganku di wajahnya dan menatapnya lurus. "Yang penting dia masih hidup," kataku. Aku menciumi bibirnya berkali-kali saat air matanya mulai menetes. Rasa panas juga terasa di pipiku karena aku ikut menangis bersamanya. "Jangan membuatku takut lagi," bisikku.

Marc melingkarkan lengan kekarnya memeluk tubuhku erat. "Maaf," kata Marc lembut di puncak kepalaku.

Kami berjalan bersama-sama menuju ruangan tempat Lucha dirawat. Lantai beningnya memantulkan tirai putih yang menjuntai panjang di samping ranjang tempat Lucha terbaring. Terdengar bunyi bip berulang kali dari monitor di samping Lucha. Di tubuh kecilnya, terdapat beberapa selang dan tabung kecil terpasang di hidungnya. Aku memperhatikan anakku sejenak.

Anakku dan Marc bukanlah tipe anak yang penurut. Dia pemberontak seperti Marc Márquez, dan gengsian sepertiku. Bukan hal yang mudah untuk mendidiknya. Namun bukan berarti tidak mungkin. Dibalik sifat negatifnya itu, tentu dia memiliki kelebihan. Otaknya sangat cerdas dan encer seperti Marc. Dia juga kreatif sepertiku.

"Sekarang bagaimana?" tanyaku pada Marc sambil memandangi anak kami yang lehernya dibebat dengan perban.

"Aku tidak tahu," kata Marc.

Aku menghembuskan napas berat. "Dia kan sepertimu. Carilah jalan keluarnya."

Marc melirikku cepat. "Tidak salah? Dia keras kepala. Persis sepertimu, Mia." Marc mengalihkan pandangan pada Lucha lagi. "Mungkin dia lebih baik jadi musisi saja. Aku akan bicara padanya nanti setelah dia sembuh," kata Marc.

Aku menggelengkan kepalaku. "Jangan tidak adil begitu, Marc. Dia ingin jadi sepertimu. Dia ingin jadi pembalap. Bukankah kau ingin itu juga dulu?"

"Iya, memang," kata Marc. "Tapi melihatnya terluka seperti ini―"

Kata-kata Marc terpotong saat suara serak kecil menginterupsi pembicaraan kami.

"Ma...,"

Aku langsung mendekat kepadanya. "Iya sayang, ini Mama."

Aku mengelus-elus lembut kepalanya. Rambutnya yang coklat mirip Marc sedikit berantakan. Tapi untung wajahnya masih utuh―tampan tak terluka sedikit pun. Aku melihat perban yang dibebat di leher dan tangan kanannya itu pasti dingin. Kalau bisa, aku ingin menggantikan posisinya.

"Papa... mana?"

Marc mendekat padanya. "Ini Papa, sayang."

Bulu mata Lucha mengerjap beberapa kali lalu dia membuka matanya perlahan dan menatap Marc. "Pa, tadi aku... keren kan?"

Aku dan Marc berdua langsung berpandangan satu sama lain.

Marc sedikit mengerutkan dahinya dan mengelus kepala Lucha juga. "Kau keren sekali, sayang."

Lucha tersenyum lebar. Giginya yang rapi menyambut jawaban dari Marc.

"Tapi lebih keren lagi kalau tidak jatuh," tambah Marc.

Lucha masih tersenyum lalu dia mengangguk. "Setelah sembuh, aku mau coba lagi."

***

Duh, gimana nih? Lucha mau coba lagi!!! :'(

Btw makasih ya kamu udah baca part ini 😊 semoga kamu suka 😁

Jangan lupa baca part selanjutnya besok jam setengah 7 malem ya... Aku bakal rilis dua part loh 😁

Kalo kamu suka sama cerita ini, kasih aku vote dan komen ya supaya aku makin semangat dan seteronggg hehe makasihhh 💕🌹

NEXT JUMAT ❤

***

Ya, betul ini rilis ulang. Jika kamu sudah memberikan vote, kamu bisa meninggalkan komentar baru supaya aku tahu kamu ada di sini! :)

------------------------------------------------------------------------------

Dapatkan Mia is Mine! versi cetak di kolom komentar ini!

------------------------------------

Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction (DITERBITKAN)Where stories live. Discover now