[Season 3] Part 10 - Don't Blame Him

845 51 15
                                    

MARC POV -

ADA dua manusia yang sedang menangis di depanku sekarang. Lucha, karena kaget. Dan Mia, karena tangan kanannya terluka.

"Tenangkan dia dulu," kata Mia sambil meringis kesakitan.

Aku langsung menepuk-nepuk punggung Lucha perlahan, namun dia masih menangis juga. Mukanya jadi merah dan semakin panik melihat Mamanya kesakitan.

Mia menarik tangannya perlahan dari meja kayu yang ambruk dan mengernyit saat melihat darah mengucur deras dari tangannya. Itu pasti karena pecahan kaca dari akuariumnya atau dari meja itu sendiri. Aku bisa melihat, ada beberapa pecahannya yang masih menancap di daging tangan kanan Mia.

Perlahan, aku mendekatinya dengan hati-hati agar tak menginjak ikan-ikan dan beling yang berserakan di lantai. Bau amis dari darah dan ikan membuatku mendadak pusing.

"Buruk sekali," kataku cemas.

"Yeah." Mia mengangguk lemah.

Aku menguatkan diri untuk melihat lebih detail luka Mia dan ternyata itu lebih buruk dari yang kukira. Separuh tulang hastanya terlihat bergeser ke bawah dan sudah tidak terlihat seperti tangan yang normal lagi.

"Sepertinya itu patah," kataku ngeri.

Mia hanya terdiam dengan muka pasrah. Akhirnya aku menguatkan diriku dan menariknya perlahan-lahan sampai ke sofa. Lucha juga masih menangis di lengan kiriku.

"Akan kutelepon ambulan," kataku lalu segera meraih telepon yang tak jauh dari sofa tempat kami duduk.

Yang terjadi setelah itu pastinya Mia dibawa ke rumah sakit, aku menenangkan Lucha, dan tak lama ibuku dan Alex menyusul ke rumah sakit.

Ibuku yang mengenakan dress hijau selutut berlari tergopoh-gopoh ke arahku dan Lucha. "Di mana dia?" tanyanya.

"Dia masih dioperasi di dalam, Ma." Aku menunduk, lalu mengalihkan pandangan pada Lucha. Anakku sudah berhenti menangis, namun sekarang aku yang menangis. "Aku sangat cemas."

Ibuku mengelus kepalaku. "Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja."

Sepertinya dia melihat kakiku gemetar dan sangat sulit untuk berdiri lagi sambil menggendong Lucha. Jadi Ibuku meraih tubuh Lucha dari gendonganku dan menyerahkannya pada Alex. Kemudian Ibuku mendudukkanku di kursi besi.

Tak lama, seorang dokter keluar dari operasi dan langsung menemui kami. Aku langsung berdiri meskipun seluruh badanku rasanya lemas.

"Tulang hastanya patah, tapi kami sudah memasang pen untuk membantunya kembali utuh meskipun mungkin tak bisa seperti dulu lagi. Beruntungnya tak ada serpihan tulang di dalamnya." Dokter itu menyerahkan hasil rontgen Mia padaku.

"Terima kasih," kata Ibuku mewakiliku. Sementara aku masih gemetar, Alex sudah lebih dulu duduk di kursi besi dengan Lucha di pangkuannya.

"Jaga dia sebentar ya," kataku pada Alex lalu bergegas menemui Mia setelah Mia dipindahkan ke ruang tunggu.

Ruangan itu putih. Dinding-dinding di sebelah Mia tertutup tirai yang panjang dari atas sampai menyentuh lantai yang mengkilap. Ada inpus dengan kantong darah tersambung ke pergelangan tangan Mia. Aku melihat di atas ranjang dengan kasur tipis dan pembatas besi pinggirnya, Mia tergeletak di sana. Morphin masih mempengaruhinya terseret jauh ke alam lain. Dengan masih menahan isak tangisku, aku menggenggam tangannya.

"Maafkan aku karena kurang cepat," kataku. Aku melirik ke arah tangan kanan Mia yang kini terbungkus perban tebal dan terlihat sangat kaku. Siapa yang tahu dia bisa sembuh cepat atau lama? Bagaimana kalau lukanya semakin parah? Dia bukan hanya tidak bisa menggendong Lucha lagi. Tapi dia tidak bisa makan, mandi, dan... bermain musik.

Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction (DITERBITKAN)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt