2. Beliau Bernama Asep

12K 268 15
                                    

Sebagai pembaca nomor 1 novel ber-genre fiksi remaja, Ellen sudah mencatat apa-apa saja yang tidak boleh dilakukannya selama status anak baru masih tersemat. Yang pertama, tidak boleh telat di hari pertama. Baiklah, itu sudah berhasil  dilaluinya berminggu-minggu yang lalu.

Yang ke-dua, tidak boleh berlarian sembarangan di koridor agar tidak menabrak siapapun. Ellen jelas tidak mau dia tiba-tiba terlibat cekcok apalagi dengan cowok yang ujungnya bakal ribet. Sebelum resmi menjadi murid di Darma Bangsa ini, dia sudah memutuskan untuk tidak berurusan dengan cowok manapun kecuali teman sekelas, itu pun masih harus dibatasi. Karena Ellen tidak mau kehidupannya jadi ribet hanya karena laki-laki.

Dan masih banyak lagi. Pokoknya Ellen hanya ingin menjadi figuran di sekolah barunya ini.

"Abaaang! Masih lama tah?" teriaknya sambil mengikat rapi tali sepatu di teras rumah.

Jam tangannya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas. Ojek yang tadinya membawa anak tetangga ke sekolah sudah lewat lagi di depan rumah Ellen dengan penumpang yang baru. Ellen berdecak sebal lantas kembali menoleh ke dalam rumah.

"Udah mau jam tujuh, Bang! Cepetan dong. Nanti telat!"

Ellen lanjut menggerutu saat tidak ada balasan dari dalam. Kalau saja dia tidak diwajibkan pulang-pergi ke sekolah bareng dengan kakaknya, sudah sejak tadi Ellen pesan taksi online. Tapi, karena ayahnya bilang dia tidak boleh naik kendaraan lain tanpa pengawasan, Ellen mau tak mau menurut. Dia terpaksa menunggu kakaknya lebih lama lagi. Mungkin sekitar lima menit kemudian baru kakaknya muncul dengan roti tawar yang dijepit di bibir.

"Makanan tuh abisin dulu napa sih, Bang?" suruh Ellen keki.

"Cot!" balas kakaknya yang memotong roti jadi dua bagian. "Mamam nih! Abisin!" katanya sambil menyuapkan secara paksa separuh roti di tangan ke mulut Ellen.

Ellen memekik kesal. Pagi-pagi sudah ngajak gelut. Dasar!

Nauval—nama kakaknya—menarik kerah belakang seragam adiknya yang sedang kewalahan mengunyah roti di mulut. Tarikannya itu membuat adiknya nyaris jatuh terjengkang kalau saja Ellen tidak cepat-cepat menjaga keseimbangan. Ellen menabok kuat lengan Nauval, kemudian mengomel.

"Iya, iya, maap. Gak bisa sabar banget dah. Masih pagi loh ini," komentar Nauval sambil melempar tas sekolahnya ke kursi belakang.

Ellen membanting pintu mobil kuat-kuat. Tidak memedulikan kakaknya yang meringis karena takut pintu mobilnya rusak.

"Cepetan jalan!" suruh Ellen galak.

"Iya, sabar, Cinta. Jangan teriak-teriak gitu ih. Masih pagi loh ini."

"Dih!"

Mobil merah Nauval akhirnya melaju meninggalkan pekarangan rumah, berbaur dengan kendaraan-kendaraan lain di jalan raya. Ellen memandang lurus ke depan dengan mulut mengatup rapat. Ojek dan angkot berseliweran mengantar anak-anak sekolah. Jalanan cukup ramai tapi tidak sampai menimbulkan kemacetan seperti di Ibukota. Dia tidak perlu lagi khawatir akan terlambat ke sekolah karena terjebak macet. Karena jalan yang mereka lalui sekarang lancar-lancar saja.

Sampai akhirnya, mobil Nauval tiba-tiba berhenti di tepi jalan. Kakak beradik itu sontak saling pandang. Kemudian Nauval mencoba menyalakan lagi mobilnya. Sejenak terdengar suara mesin yang bekerja tapi beberapa saat kemudian kembali mati. Begitu terus sampai tiga kali dan akhirnya Nauval menyerah.

"Hah. Mogok lagi nih kayaknya."

Nauval segera keluar dari mobilnya, disusul Ellen juga. Selama beberapa saat, Nauval mencoba mengutak-atik mesin mobil. Tapi, dia sama sekali tidak menemukan di mana letak kesalahannya.

Dare or DareWhere stories live. Discover now