12. Siapa dia?

3.7K 177 13
                                    

Kantin masih sepi ketika Viko dan Kent datang memesan dua mangkuk bakso ke kang Ujang. Gerak-gerik mereka terlihat biasa saja. Mengambil sendok dan garpu dengan biasa, mencampur kecap dan saos ke mangkuk dengan biasa, bahkan saat memakan baksonya sampai habis pun gerakan mereka biasa saja. Padahal yang mereka lakukan itu tidak benar.

Bisa-bisanya mereka santai saja makan bakso tanpa peduli jika guru di kelasnya mengomel. Terhitung sudah lima belas menit berlalu sejak Kent dan Viko minta izin ke toilet. Bu guru pasti marah.

Kringg ... kringg ...!

Bel istirahat berdering bersamaan dengan Kent yang menelan pentol bakso terakhirnya. Cowok itu tersenyum puas karena perutnya sudah tidak perih lagi. Tadi pagi Kent tidak sarapan. Seingatnya, terakhir kali ia makan adalah kemarin sore di rumah Dion. Makan nasi hangat dengan lauk semur ayam buatan ibunya Dion.

"Ini dia dua manusia gak ada akhlak!" Dion muncul tiba-tiba. Dia mengambil gelas milik Viko, lantas meminum teh manis sampai habis. "Hebat banget ya lo berdua, bolos gak ngajak-ngajak!" omelnya sembari meletakan gelas kosong ke meja dengan hentakan yang cukup kuat.

"Ampun, Tuan" Kent dan Viko mengatupkan kedua tangan di depan wajah.

"Gak mau tau, pokoknya beliin bakso dua mangkok sama pop-es taro," tuntut Dion, bersidekap dada.

"Idih, kurang ajar amat," Viko mencibir.

"Bodo amat, gue ngambek!"

"Najis! Udah kayak cewek aja lo. Cih! Pih!"

Dion menggeram, mendekati Viko. Kemudian dia langsung memiting leher temannya itu dari belakang. Orang-orang yang melihatnya tidak menghiraukan. Mereka tidak akan melapor ke guru, sebab mereka tau kalau itu hanya candaan semata. Meski rasa pitingan Dion tidak bisa dibilang bercanda.

"Maaf gak lo! Atau gue patahin ini leher!" ancam Dion.

Viko berdecak sebal, lehernya tercekik. Sulit untuk mengucapkan sepatah dua patah kata, bagaimana bisa dia minta maaf coba? Lagipula, Viko tidak merasa bersalah, dia tidak akan minta maaf.

"Eh Yon, Yon, Yon! Lihat tuh." Kent menunjuk ke pintu masuk kantin, atensi Dion teralihkan. "Gebetan lo dateng bareng cewek gue. Samperin gak nih?" tanya Kent, tersenyum penuh arti.

"Samperin lah! Masa enggak?" Dion membebaskan Viko yang mulai batuk-batuk. Kemudian cowok itu langsung pergi menghampiri Riris dan Ellen.

Kent sempat berdecak kesal karena ditinggalkan. Sebelum akhirnya ia menyusul kepergian Dion.

"Udah ganteng belum, Kent?" Dion merapikan rambutnya pakai jari-jari tangan.

"Belum," jawab Kent yang telah menyamai langkah Dion. "Mau diapain juga muka lo tetep sama. Buluk."

Dion mendengkus. Sementara itu, Viko menatap jengkel ke arah dua temannya yang main asal pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian.

"Dasar para Bulol! Bucin Tolol!" serunya jengkel.

Baik Kent maupun Dion sama-sama menulikan telinga. Fokus mereka hanya tertuju ke satu objek. Kent hanya fokus ke Ellen, sedangkan Dion fokus ke cewek yang dia suka. Selain dari itu, Kent dan Dion tidak peduli.

"Hai, My Lope-lope Riris," sapa Dion. Tanpa permisi, cowok itu duduk di samping Riris. "Cantik ya kayak biasanya, hehe."

"Najis!" Riris menggeser posisi duduknya, menjauh dari Dion yang tersenyum lebar seperti orang gila.

"Ketus seperti biasanya," komentar Dion.

"Bacot!"

Mengabaikan Riris dan Dion, Kent lebih memilih menatap pacarnya yang sedang makan cilok. Pipi kiri Ellen yang menggembung dan bergerak-gerak karena sedang mengunyah menjadi perhatian utama Kent. Cowok itu menopang dagunya dengan tangan kanan, tersenyum lebar tanpa mengalihkan pandangan ke yang lain.

Dare or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang