32. Karma Pahit

2.3K 179 49
                                    

Pukul 2 siang.

Matahari bersinar terik sekali, seolah tidak pernah ada hujan yang turun beberapa jam lalu.

Di lapangan upacara, seorang siswa yang namanya dikenal oleh semua orang di sekolah, menatap bendera merah-putih yang berkibar dengan mata menyipit karena silau. Sudah hampir setengah jam dia berdiri di sini, hormat ke bendera merah-putih tanpa menoleh ke mana-mana. Gara-gara ketahuan membolos, dia jadi dihukum sampai jam pulang. Yang itu artinya masih satu jam lagi dia berdiri di bawah terik matahari.

"Heran gue sama cuaca hari ini. Tadi pagi hujan, terus siangnya panas terik. Gak konsisten banget." Nauval mengomel sendiri. "Tapi bagus juga sih. Dengan begini Rena gak perlu lama-lama di UKS sama si Aldo."

Bibir Nauval kembali terkatup rapat, matanya menyorot penuh pada bendera merah-putih yang berkibar ditiup angin. Nauval memang anak nakal, tapi kalau diberikan hukuman, dia akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Karena Nauval sadar akan tanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

Di tengah kekhusyukannya itu, ponselnya berbunyi. Nauval merogoh saku celana. "Siapa sih yang nelepon panas-panas begini? Gak tau gue lagi males ngomong apa?" omelnya. "Ck! Ini hp gue ke mana sih? Ah elah!" Kekesalan Nauval bertambah saat ia tidak menemukan ponselnya di saku celana.

"Astagaaa! Taunya di sini." Nauval mengambil ponselnya dari saku seragam. "Kapan lo pindah sih, Pe? Kok gak bilang-bilang? Nyusahin tau!" ujarnya pada ponsel yang layarnya berkedip-kedip.

Nauval segera mengangkat telepon, mendekatkan benda persegi panjang itu ke telinga kiri. Lantas, mengomel, "Ngapain sih nelepon gue siang-siang begini? Gak tau gue lagi dijemur, hah? Gak bisa nanti aja apa? Kalo lo nelepon karena hal gak penting, awas aja! Gue patahin leher lo."

"Santai, Bos. Santai...."

"Bas-Bos-Bas-Bos! Gue udah bilang berkali-kali jangan panggil gue Bos. Geli gue dengernya. Jijik! Najis!" balas Nauval galak.

"Gak bisa nyelow, Bos, ngomongnya? Nge-gas mulu dah."

"Bacot ah! Udah deh ya langsung bilang aja alasan lo nelepon gue. Gak usah bertele-tele. Gue lagi males banyak ngomong."

"Males banyak ngomong tapi ngomel mulu dari tadi."

"Heh! Apa lo bilang?"

"Udah deh, Bos, gak usah bertele-tele. Gue—"

"Yang dari tadi bertele-tele itu elo!" Nauval memotong karena kesal.

"Arggggh! Ngeselin lo! Lo bisa diem dan denger baik-baik, enggak?"

"Idih, kurang ajar amat lo bentak-bentak gue! Lo pikir lo itu—"

"Ini soal Ellen Rena!"

Nauval langsung berdiri tegak, ekspresi wajahnya yang kesal berubah seketika. "Kenapa adek gue?"

Orang di seberang sana menghela napas panjang lebih dulu. "Gini, Bos. Gue juga baru dapet kabarnya sekarang. Katanya ... Ellen dijadiin bahan taruhan."

Tangan Nauval terkepal erat, giginya bergemelatuk. Wajahnya yang memerah karena terbakar terik matahari kini bertambah merah pekat. "Siapa orangnya?"

"Kent. Kent Adhika Wijaya."

"Kent sialan!" geram Nauval. "Di mana adek gue sekarang? Di mana si Kent Anjing itu sekarang?"

"Ellen izin pulang katanya. Kalau si Kent mungkin di kelasnya."

"Oke. Nice info, Bro."

Nauval sudah akan mengakhiri sambungan telepon ketika temannya berujar, "Jangan ke sini ya, Bos. Please."

Dare or DareWhere stories live. Discover now