30. Hari Terakhir

2.2K 162 20
                                    

Ada yang berbeda dari Kent hari ini. Wajah dan penampilannya sama-sama kusut, tidak memancarkan aura-aura pangeran seperti biasanya. Kent bahkan mengajak Viko untuk bolos jam pelajaran olahraga, padahal Viko tau betul kalau Kent suka sekali dengan jam pelajaran itu.

"Lo kenapa, Kent? Kusut amat perasaan." Viko melirik sekilas wajah temannya, sedangkan tangannya menuangkan kecap dan saos ke mangkuk bakso. Kemudian mengaduk-aduknya menggunakan sendok dan garpu.

Kent menghela napas berat, menopang dagunya dengan satu tangan. "Adek gue masuk rumah sakit lagi, Ko," ujarnya lesu.

Viko ber-oh panjang, menyuapkan pentol bakso ke mulutnya. "Adek lo sakit apa emangnya? Demam?"

Kent mendengkus, tersenyum miris. "Dokter bilang LLA."

"Ha?" Viko mengerutkan dahi.

"Leukemia Limfoblastik Akut. Sederhananya sih kanker darah."

"What?!" Viko membelalakkan matanya, bakso yang belum halus dikunyah sudah ia telan begitu saja. "Ka-kanker darah?" Cowok itu menatap wajah Kent lekat-lekat. "Stadium berapa?"

"Dua."

Viko mengerjap. Mendadak selara makannya hilang. Ia menggeser mangkok baksonya menjauh, menatap prihatin kepada Kent yang terlihat sedih.

Kent saja sesedih ini, bagaimana dengan Kesya yang mengalaminya? Apakah Kesya akan baik-baik saja? Apa tubuh ringkihnya mampu melawan penyakit mengerikan yang bernama LLA itu?

"Kent, penyakitnya masih stadium dua, itu masih tahap awal kan? Masih kanker in situ. Kesya masih bisa sembuh. Yakin deh." Viko mencoba meyakinkan Kent untuk berhenti cemas berlebihan.

Kent hanya meliriknya sekilas, tidak bicara apa-apa.

"Yo! What's up, Guysssss!" Dion datang dengan keceriaannya, mengambil posisi duduk di samping Kent, merangkul pundak temannya itu. "Awali hari dengan senyuman manis dong, jangan pada masang muka asem begini. Senyum dong, senyum."

Kent dan Viko melirik sekilas.

"Eh, Woi, lo pada tau gak? Kemaren—"

"Diem." Kent dan Viko kompak menyela perkataan Dion yang hendak membuka sesi gibah.

Dion mengerjap dua kali, menatap bingung dua temannya yang balas menatapnya dengan tajam. "Lo berdua kenapa sih? Cerita ke gue bisa kali."

Mengalihkan pandangannya ke mangkuk bakso, Viko menghela napas berat, hampir sama dengan yang dilakukan Kent tadi saat hendak memberitahu penyakit yang diderita Kesya. "Adeknya Kent masuk rumah sakit. Kesya kena kanker darah, udah stadium dua."

"Hah?" Dion melotot tidak percaya, melepas rangkulannya dari pundak Kent. "K-k-ka-kanker? Kesya kena kanker darah? Kanker ... yang serem itu?"

Viko mengangguk kalem.

"Lu yang bener, Ko!" Dion menggebrak meja kantin, berdiri dari bangku. "Gak boleh bercanda hal yang beginian. Ini masalah nyawa."

Viko menautkan alisnya, menatap tajam. "Muka gue sekonyol apa sampe lo bilang gue bercanda? Sejak kapan sih gue jadi komika?"

"Jadi ...," Dion kembali duduk, bahunya merosot. " ... ini beneran?"

"Iya, Yon. Ini beneran." Kent menjawab malas.

Pandangan Dion sekarang menyorot Kent sepenuhnya. "Terus kok lo sekolah? Kasian adek lo sendirian di rumah sakit."

Kent melirik.

"Apa karena ini hari ke-tujuh makanya lo bela-belain ke sekolah?" tanya Dion, sekilas sorot matanya menggambarkan ketidaksukaan.

"Gak gitu, Yon." Kent menurunkan tangannya yang menopang dagu. "Bokap maksa gue sekolah, gue gak bisa nolak. Lagian, di rumah sakit ada nyokap sama bi Surti, ada perawat juga. Jadi, Kesya gak sendirian."

Dare or DareWhere stories live. Discover now