5. Dare or Dare

7.6K 231 18
                                    

Ternyata kesialan Ellen yang menanti setelah berlari keliling lapangan adalah diusir dari kelas sampai jam pelajaran fisika habis. Pak Heru tadi bilang bahwa Ellen bebas melakukan apa saja di koridor asalkan tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar di kelasnya dan kelas tetangga.

Dan beginilah Ellen sekarang, duduk sendirian di kursi kayu panjang yang tersedia di depan kelasnya sambil mengeluh. Punggung yang terasa pegal disandarkannya pada dinding. Rupanya hari ini benar-benar hari sialnya.

"Kenapa hari ini gue sial banget, sih?" Ellen bertanya pada dirinya sendiri. "Udah dihukum lari keliling lapangan, ketemu kakak kelas gaje, gak dibolehin masuk kelas pula. Fix sih ini mah pasti hari kesialan gue. Fix ini! Fix!" omelnya menggebu-gebu.

"Ellen, jangan berisik!" tegur pak Heru dari dalam kelas.

Sontak saja Ellen duduk tegak lalu cepat-cepat minta maaf. Ah, pak Heru ini menyebalkan sekali.

Setelah mendapat teguran itu, Ellen duduk diam nyaris lima menit. Rasa bosan langsung menyelimutinya dari kepala sampai kaki. Sebenarnya dia bisa saja pergi ke kantin, makan bakso terus minum es. Aduh, pasti enak sekali. Tapi dia tidak mau menimbulkan masalah baru. Ellen tidak mau imejnya benar-benar rusak.

"Eh, sendirian aja nih ceritanya?"

Ellen tersentak kemudian mendongakkan kepala ke asal suara. Dalam waktu tiga detik, pandangannya bersirobok dengan mata kakak kelas yang tadi sama-sama dihukum lari keliling lapangan, Kent Adhika.

Helaan napas panjang keluar dari balik bibir Ellen. Mau apa lagi manusia ini, Ya Tuhannn?

"Gue gak sendirian, sekarang berdua sama lo!" ujarnya ketus.

Sekilas, dahi Kent terlihat berkerut. Mencoba memahami maksud perkataan adik kelasnya itu. Ketika sudah mengerti, dia tertawa singkat.

"Iya juga sih," katanya sambil menduduki permukaan bangku di samping Ellen.

Dengan jarak sedekat itu, jantung Ellen langsung berdetak cepat, wajahnya pun pucat sekarang. Potongan kejadian yang susah payah dikuburnya kembali berseliweran di kepala. Seketika dia pusing. Ellen segera menggeser tubuhnya sampai ke ujung bangku, memastikan dirinya berada dalam jarak aman.

"E-elo ngapain di sini, Kak? Hukuman lo udah selesai?" Ellen bertanya, berusaha untuk tidak kelihatan sedang tertekan. Tapi, suaranya yang bergetar justru memperjelas semuanya.

Kent menoleh sekilas sambil tersenyum. "Nanti dilanjut, sekarang istirahat dulu mumpung pak Bambang lagi dipanggil ke TU," jawabnya santai. "Btw, lo juga ngapain di sini? Bukannya si Singa Kalem lagi ngajar ya?"

Singa Kalem, Pak Heru.

Helaan napas panjang keluar lagi dari balik bibir Ellen. "Gue … diusir," ujarnya pelan.

Kent mengedipkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya tertawa. "Kasihan," ejeknya di sela tawa.

Ellen mencebik kesal. Tapi, entah kenapa, begitu mendengar Kent tertawa hatinya jadi tenang. Perasaan was-wasnya perlahan menghilang, terbang bersama angin sampai ke angkasa luar. Tanpa sadar, bibirnya mengulas senyum tipis.

"Diem lu! Gak usah ngejek! Entar kalo kedengeran sama pak Heru, bisa jadi masalah."

Tawa Kent langsung terhenti saat mendengar nama pak Heru disebut-sebut. Dia teringat dengan hukuman yang diberikan pak Heru padanya tahun lalu. Yaitu ikut serta lomba fisika mewakili sekolah. Padahal dia hanya tidak sengaja tidur saat jam pelajaran fisika. Hukumannya sampai separah itu, bawa-bawa nama sekolah. Kent trauma.

Selanjutnya tidak ada suara dari mereka berdua. Penjelasan mengenai materi termodinamika oleh pak Heru di kelas menjadi backsound yang lumayan epic.

Dare or DareWhere stories live. Discover now