27. Masakan Mama

2.7K 163 32
                                    

Empat balon dengan warna berbeda-beda itu berpindah tangan ke Ellen. Warnanya bagus-bagus dengan gambar yang lucu. Ellen tersenyum melihatnya. Kesya pasti suka.

"Pegang yang erat, jangan sampe lepas," Kent berpesan. "Kalo sampe lepas, lo gue hukum lari keliling kota."

"Buset, ngeri. Capek dong entar gue." Ellen mengeratkan genggamannya pada tali balon, takut lepas.

"Iya. Betis lo nanti segede talas bogor."

"Woah, serius?"

"Iya nanti gue seriusin."

"Apa sih? Gak jelas banget."

Kent menyeringai lalu menepuk kepala Ellen dua kali. Dia menaiki motornya. Mood cowok itu hari ini agak kurang bagus gara-gara Dion yang mendadak aneh. Tiap keanehan yang terjadi pada Dion akan berdampak ke sekitarnya, Kent tidak tau alasannya karena apa. Mungkin itu memang kekhasan Dion.

Kent menoleh ke belakang, menatap Ellen yang masih berdiri diam dengan muka manisnya.

"Hoi, buruan naik. Entar keburu sore."

"Iya, bentar." Ellen bersungut-sungut karena balon yang ia bawa sesekali mengenai wajahnya. Pelan-pelan, cewek itu menaiki motor tinggi Kent sambil menggenggam erat tali balonnya. "Udah," ujarnya, memberitahukan Kent bahwa ia sudah siap.

"Yakin nih?" Kent melihat kaca spion. "Mau pegangan gak? Entar kalo jatuh urusannya panjang."

Ellen menggeleng. "Gue bukan kapas yang ditiup angin dikit langsung terbang. Gini-gini berat badan gue di atas empat puluh, tau. Gue gak akan jatuh, gak usah khawatir gitu."

"Bener nih? Padahal gue udah berbaik hati lho, nawarin."

Ellen mencebik bibir. "Oke, oke, gue pegangan."

Tangan Ellen yang bebas sudah akan menyentuh punggung Kent ketika Kent berkata, "Tapi bayar ya?"

Refleks, Ellen menabok punggung kakak kelasnya itu. Dia melotot menatap Kent lewat pantulan kaca spion sedangkan Kent mengaduh kesakitan. "Lo itu sebenernya ikhlas apa enggak sih?"

"Ikhlas, Nat. Tapi, masa iya gratis sih? Harus bayar lah." Kent tersenyum kali ini. "Bayarnya gak pake uang, kok."

"Kalo gak pake uang, terus pake apa?!" tanya Ellen, nada bicaranya masih saja ketus.

"Eumm ... maybe a kiss."

Sekali lagi Ellen menabok punggung Kent. Cewek itu merengut sebal meski pipinya yang bersemu tidak bisa disembunyikan lagi. Ellen mengalihkan pandangannya dari kaca spion, menatap pohon di pinggir jalan.

"Udah, buruan jalan! Nunggu apa lagi?!" Sesekali Ellen melirik kaca spion.

"Nunggu dipeluk lah!" Kent menjawab enteng.

"Gue tabok lagi nih!" Ellen mengangkat tangannya, mengancam.

"Iya, iya." Kent berdecak kecewa, lantas menarik gas motornya tanpa aba-aba. Ellen yang sempat terhuyung ke belakang, buru-buru mencari pegangan, memeluk pinggang Kent dengan erat. Kalau tidak, Ellen pasti sudah jatuh terjungkal ke aspal.

Melihat tangan Ellen yang meremas kuat seragam sekolah di bagian perutnya, Kent tersenyum.

"Cieeee ... pegangan. Katanya tadi gak perlu."

Ellen menarik kembali tangannya, wajahnya merah padam. "Itu tadi refleks! Jangan gr!" ujarnya ketus.

"Iya, deh, percaya." Kent melirik kaca spion, bibirnya tak henti mengulas senyum jahil. Mood-nya membaik. "Karena lo udah peluk-peluk gue, artinya lo harus bayar lho, Nat," ujarnya melebarkan senyuman.

Dare or DareWhere stories live. Discover now