39. Penagihan Hutang

1.9K 155 16
                                    

Untuk yang ke-dua kalinya, Ellen menolak ajakan Riris ke kantin dengan alasan dia mau menyendiri dulu di taman belakang sekolah sambil membaca novel. Katanya taman ini jarang didatangi karena tidak terlalu estetik dan banyak nyamuk. Padahal taman ini bagus, sangat bagus. Memang minusnya hanyalah karena ada banyak nyamuk saja, apalagi sehabis hujan.

Ellen duduk di kursi kayu yang tersedia di bawah pohon cemara lilin. Senyumnya mengembang ketika dia melihat langit yang begitu cerah dihiasi dengan awan-awan putih yang gemuk.Ellen harap cuacanya akan terus cerah sampai sore. Sebab, dia tidak suka hujan. Atau lebih tepatnya, dia takut hujan.

Ellen menghirup napas dalam-dalam. Sudah mau tiga bulan dia pindah ke sekolah ini tapi baru sekarang dia sempat mampir di taman belakangnya.

Puas mengagumi sekitar, Ellen membuka novelnya. Mulai membaca kata demi kata di sana. Mulai hanyut ke dunia halu. Namun, kegiatannya itu harus terganggu dengan kehadiran seorang cowok yang langsung duduk di sampingnya tanpa permisi. Tanpa menoleh, Ellen beringsut menjauh.

"Hai!" Cowok itu menyapa disertai senyuman manis. "Kenapa gak ke kantin?"

Ellen tidak menjawab. Ia pura-pura membaca novelnya, berusaha untuk bertingkah biasa saja di dekat Biru meski traumanya membuat dia sedikit gemetaran.

Belakangan ini Biru selalu saja menganggunya. Mulai dari mendesak untuk ke kantin bareng, mengganggunya di perpustakaan, menonton Ellen saat sedang jam olahraga dan sering memberikan Ellen cokelat meskipun Ellen selalu menolaknya. Ellen jadi risi sekaligus was-was.

"Ren, ngantin yuk," ajak Biru.

"Gak mau!"

"Tapi aku laper, Renn. Ayo dong, mau ya?"

"Pergi aja sendiri! Punya kaki punya mata kan?"

Biru berdecak sebal. Cowok itu menatap sepatunya sambil memikirkan topik pembicaraan apa yang mau dibahas dengan Ellen.

"Eh, Ren. Nanti pulang bareng aku yuk!"

"Gak mau." Ellen menolak tanpa perlu berpikir ulang.

"Tapi aku gak terima penolakan loh." Biru menyeringai.

"Abang gue jemputnya tepat waktu loh," balas Ellen masih terus menatap ke novel di tangannya.

Biru langsung bungkam. Ingatan saat dia dipukuli habis-habisan oleh Nauval berputar di otaknya. Juga ingatan saat tubuhnya jatuh tersungkur terkena tendangan maut Haikal yang tidak akan bisa Biru lupakan seumur hidup. Biru menelan ludahnya, dia tidak mau masuk rumah sakit lagi.

"Emm ... gimana kalau kita bolos aja, Ren kayak waktu itu?" celetuk Biru, masih belum menyerah mengajak Ellen pergi bersamanya. "Nanti kita main ke toko es krim, ke mall, bioskop, terus juga—"

"Gak mau!"

"Kenapa? Padahal bolos itu seru. Kamu suka kan bolos kelas? Apalagi sama aku. Ya kan?"

"Gak."

"Loh, tapi kan—"

"Gue bilang enggak, ya enggak!" Ellen menutup novelnya dengan kasar. "Sana pergi lo! Gak usah ganggu gue. Kayak gak ada kerjaan aja."

Bukannya pergi, Biru malah tertawa bahagia di tempatnya. Dia benar-benar tidak menyangka Rena-nya yang manis dan lugu berubah menjadi seperti sekarang ini.

"Siapa?" tanya Biru setelah puas tertawa. "Siapa yang ngajarin kamu kayak gini? Si Kent itu ya?"

Ellen diam.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal Kent, aku denger rumor katanya kalian udah selesai ya? Katanya lagi, kamu cuman dijadiin taruhan dia dengan temen-temennya aja. Itu bener gak sih?" Biru mendekatkan wajahnya dengan wajah Ellen, tersenyum. "Kent taunya berengsek juga ya? Kamu udah diapain aja sama dia? Pasti—"

Dare or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang