43. Sudut Pandang

1K 111 33
                                    

Haikal baru saja mau pulang setelah mengambil laptopnya yang tertinggal di rumah teman. Sebenarnya dia malas sekali mengambilnya, tapi karena besok pagi laptop itu hendak digunakan untuk tugas kuliah, dia terpaksa harus keluar tengah malam begini.

Seolah belum cukup dibuat kesal, di tengah perjalanan pulang ada masalah yang menimpanya. Hampir saja terjadi tabrakan antara mobilnya dengan motor yang melaju kesetanan di tingkungan jalan.

Haikal melirik ke samping. Orang yang hampir bertabrakan dengannya tengah sibuk mengelap darah dari luka-luka di lengan dan siku menggunakan tisu yang tadi Haikal berikan.

Dikarenakan kaget dengan kemunculan mobil dari arah berlawanan secara tiba-tiba, pengemudi motor itu langsung banting setir dan berakhir menabrak pohon di pinggir jalan. Alhasil pengendaranya mendapat beberapa luka lecet dan kaki kirinya keseleo.

Untuk yang ke-sekian kalinya, Haikal menghela napas panjang. Harusnya dia sudah di rumah sekarang, tidur lelap di kasurnya yang empuk. Bukan malah duduk di atas rumput bersampingan dengan cowok ini.

"Sejak kapan kamu beli jalanan ini?" tanya Haikal sinis, menyindir Kent yang tadi ugal-ugalan bawa motor seolah jalanan ini miliknya.

Kent yang sekarang sedang mencoba mengurut pergelangan kakinya, menoleh bingung.

"Hah?"

Lagi-lagi Haikal menghela napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak menendang anak SMA di sampingnya seperti tempo hari.

"Kalau tadi benar-benar terjadi kecelakaan dan kamu mati tapi saya masih hidup, pasti mayat kamu saya buang ke sungai. Biar hanyut bareng tai sama sampah-sampah plastik!" Haikal berujar ketus tanpa memberikan penjelasan apa-apa tentang sindirannya tadi.

Kent mengerjap. Sungguh. Se-sadis apapun Nauval, se-ketus apapun Nauval, masih tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Haikal.

Nata kok bisa ya punya kakak kayak begini?

"Heh, masih bisa bawa motor kan?" tanya Haikal, masih dengan intonasi ketus seperti sebelumnya.

"Hah?" balas Kent lagi. Mulutnya agak menganga, tapi buru-buru dikatupkannya rapat-rapat saat melihat raut wajah Haikal yang kesal. "Bisa. Mungkin," jawabnya ragu-ragu. Kent kembali mengurut kakinya-walaupun dia tidak tahu cara mengurut yang baik dan benar.

"Ok." Haikal berdiri, menyimpan kedua tangannya yang dingin ke dalam saku hoodie. "Nanti tabrakin motor kamu ke kereta, kalau perlu bawa aja motor kamu lompat indah ke jurang. Itu cara mati yang jauh lebih epic daripada nabrak pohon di pinggir jalan," ujarnya, memberi saran.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Kent ketika melihat Haikal sudah menjauh dua langkah.

"Ya pulang lah. Kamu pikir saya bakalan terus di situ nemenin kamu sampe kamu mati kedinginan? Heh, asal kamu tau ya, saya ini mau tidur, ngantuk. Saya bukan kalong." Haikal menjawab tanpa berhenti melangkahkan kaki menuju mobilnya.

Mendengar jawaban itu, Kent menunduk. Benar juga. Haikal butuh tidur. Haikal pasti punya aktivitas lain yang membuatnya kelelahan.

Kondisi Kent memang kacau, tapi bukan berarti hal itu bisa membuat Haikal bersuka rela menjadi penyemangat untuknya, kan? Dilihat dari luarnya pun Kent bisa menebak kalau Haikal itu orang yang dingin dan cuek, susah berempati kepada orang lain. Kent salah karena telah berharap Haikal akan menemaninya di sini.

Lagian abang waras mana yang rela menemani cowok galau yang kemarin-kemarin telah mempermainkan hati adik perempuannya sampai-sampai adiknya menangis semalaman di kamar?

Ditambah lagi, ini tidak seperti Kent Adhika yang biasanya. Kent yang 'biasanya' tidak pernah berharap ditemani saat sedang sedih. Tidak pernah berharap ada yang memberikannya wejangan-wejangan terhadap permasalahan yang sedang ia alami. Kent itu cowok yang kuat.

Dare or DareUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum