29. Cowoknya Santi

2.2K 158 8
                                    

Suara dari mesin elektrokardiograf yang menampilkan grafik aktivitas jantung Kesya mengisi keheningan di ruang ICU. Kent meraih tangan dingin Kesya, menggenggamnya dengan erat, lantas menciumnya penuh kasih. Sudah yang ke-sekian kali Kent melihat tubuh adiknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan banyak selang medis yang menempel di tubuh ringkih itu.

Mata Kesya terpejam rapat, dadanya naik turun dengan teratur. Kesya kelihatan begitu tenang dan damai. Ketenangan dan kedamaiannya yang satu ini sangatlah Kent benci.

Kent tau adiknya sudah cukup banyak menerima rasa sakit, entah dari dalam dirinya sendiri atau dari perlakuan orang tuanya. Kesya berhak untuk mendapatkan ketenangan. Tapi Kent tidak suka jika ketenangan yang dimaksud adalah dengan terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit seperti saat ini. Kent tidak pernah suka.

"Kesya," Kent mengusap-usap punggung tangan adiknya, tersenyum tipis. "Cepet bangun ya, Dek? Jangan tidur lama-lama. Lollipop sama cokelat yang Kakak beliin udah nungguin lho. Mereka pengin cepet-cepet dimakan sama kamu."

Sekali lagi, Kent mengecup punggung tangan dingin adiknya, mendoakan Kesya dengan sungguh-sungguh.

Sementara itu, Ellen yang sedang duduk di luar ruangan ICU harus menebalkan kesabaran karena kakaknya sedari tadi mengirimi puluhan pesan, menyuruhnya cepat-cepat pulang. Padahal Ellen sudah bilang jika dia ada urusan mendadak yang membuatnya terpaksa pulang lewat jam lima. Tapi Haikal tetap ngotot menyuruhnya untuk pulang sekarang juga.

"Oke!" Ellen mendengkus sebal kepada Haikal di seberang sana. "Oke, Ellen pulang sekarang," lanjutnya bersungut-sungut.

"Oke, Abang tunggu di depan rumah. Sebelum jam lima kamu harus udah ada di depan mata Abang."

Ellen memutar bola matanya. "Iya, iya. Sebelum jam lima Ellen udah di rumah."

"Oke."

Sambungan telepon berakhir. Ellen menatap kesal ke layar ponselnya. Bisa-bisanya Haikal mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Kakak tertuanya ini kadang menyebalkan melebihi Nauval.

Ellen menyimpan ponselnya dalam saku. Selang tiga detik, ponselnya kembali berdering.

"Aisshhhh! Kenapa lagi sih!?" geram Ellen.

Begitu melihat nama penelepon di layar ponselnya, Ellen berdecak sebal.

"Gue otw pulang. Lo gak usah khawatir gue pulang kesorean!" ujarnya setelah mengangkat panggilan telepon dari kontak bernama Anak Ilang—kontak Nauval.

"Idih! Siapa juga yang nanyain kapan lo pulang? Ge-er amat sih."

Ellen menarik napas dalam-dalam, lalu menghembusnya perlahan. Sabar, Ellen. "Kalo bukan karena nanyain kapan gue pulang, terus kenapa lo nelepon gue?"

"Jadi gini, Adikku yang Manis …."

Hm, pasti ada maunya ini.

" ... gue mau nitip ayam geprek sama lo. Yang kek biasa, pake sambel matah. Oke?"

Tuh kan! Tebakan Ellen benar. Nauval mana rela bicara manis-manis kepada Ellen kalau sedang tidak ada maunya.

"Udah, itu doang?" Ellen bertanya sambil berharap Nauval mengiakan pertanyaannya.

"Ho'oh, itu aja. Bayarnya pake duit lo dulu ya? Entar gue ganti duitnya kalau gue mau ganti." Nauval tertawa.

"Bang, jaman sekarang ini udah canggih banget lho. Lo tinggal mesen lewat hp, entar makanannya dianter ke rumah. Buat apa susah-susah coba?"

"Aishhh gak mau ah! Ongkirnya mahal. Lebih enak lo aja yang beliin, itung-itung nambah kegiatan, kan?"

"Maksud lo nambah beban, ha?"

Dare or Dareحيث تعيش القصص. اكتشف الآن