28. Adik

2.5K 163 21
                                    

Satu tendangan keras menyapa tubuh Nauval yang baru saja masuk ruang tengah. Cowok itu terpental sejauh dua meter. Belum sempat dia mengeluh kesakitan, Haikal sudah melayangkan tinju ke wajahnya. Nauval berkelit, buru-buru menjaga jarak dari putra sulung Bramantyo yang wajahnya tampak merah padam karena dikuasai amarah.

Haikal menggeram, menghampiri Nauval, kembali melayangkan tinju. Nauval yang tidak mengerti penyebab abangnya mengamuk hanya bisa menghindar, menghindar, dan menghindar. Sesekali dia menangkis serangan Haikal.

"Bentar, Bang, bentar!" Nauval mengangkat dua tangannya, meminta Haikal berhenti. Napas keduanya sama-sama tersengal. "Lo kesambet setan apaan dah? Kenapa tiba-tiba nyerang? Adikmu ini salah apa?"

Haikal mendengkus kasar melihat ekspresi adiknya yang bingung. "Ini hukuman karena kamu biarin adek main sama yang namanya Ken Arok itu. Kenapa kamu biarin sih? Emangnya kamu tahu seluk-beluk kehidupannya? Penampilannya aja berantakan, itu buat Abang gak yakin kalau dia anak baik-baik!" jelasnya setelah mendapat kabar kalau Ellen main dengan cowok semacam Kent Adhika.

Nauval berkacak sebelah pinggang, geleng-geleng kepala saat sadar siapa sosok yang dibicarakan kakaknya. "Don jaj e buk bay its kaper! Penampilan gak nentuin sifatnya, Bang. Contohnya gue, gue emang berantakan tapi gue anak baik-baik tuh. Gue sopan, nurut sama yang lebih tua, gak pernah nyakitin orang, baik hati dan tidak sombong, ganteng pula." Nauval membanggakan diri sendiri.

"Kebalikannya maksud kamu?" ucap Haikal menatap remeh.

"Astagfirullah ... sabar Nauval. Orang sabar pacarnya banyak." Nauval mengelus-elus dadanya—sabar.

"Cih, playboy."

"WATDEPAK! Sejak kapan Nauval playboy!? Hellooow, gue gak pernah jadi playboy, ya! Catet di otak lo pake spidol permanen!" Nauval mendengkus sebal. "Gini-gini gue tuh sadar ya, yang namanya nyakitin cewek itu gak boleh. Adek gue cewek soalnya. Gue bukan elo yang doyan banget gonta-ganti cewek."

"Itu dulu." Haikal berucap dengan wajah datar. "Sekarang enggak lagi. Udah tobat."

Nauval memutar bola matanya, malas.

"Denger ya, Nauval," Haikal menunjuk tepat wajah Nauval, ujung jarinya bahkan menyentuh batang hidung sang adik. "Kalau sampe Ellen nangis gara-gara Ken Arok itu, kamu yang tanggung jawab!"

"Iya, iya, gue paham. Emangnya sejak kapan sih elo yang tanggung jawab kalau ada yang ganggu Rena? Gue mulu perasaan."

"Makanya dikit-dikit jangan pake perasaan."

Nauval mencebik sebal, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Lo tenang aja. Gue gak akan biarin Kent atau siapapun itu nyakitin adek gue. Mau cewek atau cowok selama dia buat adek gue sakit, gue rontokin giginya," ujarnya serius.

"Ya itu pun kalau Ellen gak ngehalangin niat kamu. Kamu tau sendiri kalau Ellen itu orangnya gak tegaan, kan?"

Nauval menghela napas panjang. "Gara-gara elo tuh yang ngedidik dia lembut-lembut! Coba aja gue yang ngedidik dia dari bayi. Pasti dia gak akan kayak gitu sekarang."

"Heh! Kalau kamu yang didik, Ellen jadi psikopat yang ada. Lagian, waktu Ellen masih bayi, kamu baru umur satu tahun. Apa yang mau kamu ajarin? Ngompol di kasur?"

Nauval terbahak mendengar ucapan Haikal. "Secara gak langsung lo bilang gue psikopat lho, Bang. Aku tidak se-tega itu, Mas."

Haikal bergidik jijik. "Pengin muntah jadinya."

"Kamu hamil? Anak siapa? Kamu belum nikah, sayang. Astagfirullah ... kok bisa khilaf gitu sih? Emangnya gak pake pengaman?" sahut Nauval hiperbola.

Sontak Haikal meraih bantal sofa, melemparkannya ke kepala Nauval. Sejak dulu Nauval selalu saja memancing amarahnya. Tak ada hari tanpa ribut.

Dare or DareWhere stories live. Discover now