33. Kesya Ananta Wijaya

2.3K 164 27
                                    

"Loh, Val. Kamu mau ke mana?" tanya Linda saat melihat anaknya hendak pergi.

Nauval menghentikan langkahnya, menunjukkan kunci motor di tangan. "Main."

"Oalah. Ellen mana?"

"Tidur dia."

"Ohh, ya udah kamu pulangnya jangan terlalu larut. Jam sepuluh harus udah di rumah."

"Hah?" Nauval melotot kaget. "Jam sepuluh? Astaga! Nauval belum ngelakuin apa-apa jam segitu, Bun. Ngopi aja pasti belum abis. Jam satu lah, Bun."

"Enggak. Kamu besok sekolah."

"Bunda mah gitu ah. Nyebelin." Nauval merengut lucu.

"Pokoknya jam sepuluh udah stay di rumah. Dan gak boleh ada luka baru di muka kamu. Luka kemarin aja belum sembuh."

"Tapi, Bun—"

"Val, turutin apa yang Bunda bilang," ucap Linda tegas.

Nauval menghela napas berat. "Iya, iya," ucapnya lesu. "Eh, Bunda mau nitip sesuatu gak? Ayam geprek misalnya. Nanti Nauval beliin."

"Enggak usah, Val."

"Pecel ayam mau?" Nauval tetap menawarkan.

"Enggak."

"Sate?"

"Enggak, Nauval," tolak Linda mulai jengah.

"Pizza?"

"Enggak, Nak. Enggak."

"Burger?"

"Enggak."

"Anjing panas?"

"Hah?" Linda mengerutkan dahinya.

"Itu loh hotdog. Anjing panas."

"Heh, kamu ini ada-ada aja!"

Nauval tertawa. "Udah ah. Nauval main ya, Bun. Dahh!"

"Hati-hati."

"Pasti!"

Nauval bergegas menuju pintu utama. Yang lain pasti sudah menunggunya di tempat biasa nongkrong. Terbukti dari getaran ponsel di dalam saku celananya.

"Iya, ini gua otw," ujarnya pada penelepon.

"Lu mah otw dari dua jam lalu, anjir, tapi sampe sekarang gak nyampe-nyampe. Anak-anak udah pada nungguin nih," balas orang di seberang telepon.

"Beneran otw ini. Tunggu aja."

Nauval mematikan telepon kemudian membuka pintu. Dia yang tadinya hendak langsung naik ke motor di pekarangan mendadak diam dengan dahi berkerut. Matanya menyorot penuh tanya pada sosok asing yang berdiri di depan bel.

"Siapa lo?" tanya Nauval tanpa basa-basi.

Laki-laki dengan seragam SMA di depan bel menurunkan tangannya saat melihat pemilik rumah keluar. "Ellen nya ada?"

Karena diberikan pertanyaan atas pertanyaannya, Nauval berdecak kesal. "Gue tadi nanya. Jawab dulu!"

"Gue temennya Ellen."

Nauval memicingkan matanya curiga. "Nama lo?"

"Dion."

"Kelas?"

"Dua belas MIPA dua," ujar Dion jujur.

"Berarti lo bukan temen adek gue. Sana pergi, hush!" Tangan Nauval melambai-lambai seperti mengusir ayam.

Dion menelan ludah. "Gue perlu ngomong sama Ellen. Penting."

"Seberapa penting dibanding muka lo?"

"Ha?" Dahi Dion berkerut. "Maksudnya?"

Dare or DareWhere stories live. Discover now