36. Keluarga

1.9K 160 22
                                    

Satu minggu yang sibuk berlalu. Serangkaian acara tahlilan atas kematian Kesya akhirnya selesai juga. Sanak saudara dan para tetangga sudah kembali ke rumah masing-masing. Rumah mewah yang didominasi dengan warna putih tulang itu kini terasa lebih sunyi dari biasanya.

Kent menyandarkan kepalanya di pinggiran tempat tidur merah muda yang seminggu lalu masih memiliki tuan. Pandangannya menyapu sekeliling, menatap jam weker berwarna hijau muda di nakas, ke lemari kaca yang dipenuhi boneka beragam jenis dan warna, buku-buku dongeng yang dulunya sering ia bacakan malam-malam, juga foto-foto polaroid yang ditempelkan di dinding dengan hiasan dedauan plastik dan ranting buatan.

Semuanya tertata begitu rapi. Berbeda dengan kamar Kent yang sudah entah bagaimana lagi bentuknya. Hancur berantakan.

Duka atas kepergian sang adik belum sepenuhnya hilang dari hati Kent. Ia masih sering menangis sendirian di dalam kamarnya yang gelap saat orang-orang di rumah tertidur lelap. Lingkar hitam di bawah matanya semakin hari semakin jelas karena dia kurang tidur. Kent hanya tidur satu-dua jam saja per hari. Dia juga kurang makan, tubuhnya sekarang kelihatan lebih kurus. Ibarat tanaman, Kent sudah layu.

"BERISIK!"

Kent sedikit tersentak mendengar suara bentakan dari kamar sebelah.

Sekarang apa lagi?

Cowok itu segera bangkit dari tempatnya saat mendengar suara sang ayah yang selama seminggu ini tidak kelihatan di rumah. Sepertinya Kenzo baru saja tiba dari Belanda.

"Ah, sialannn!" Kent meremas pelipisnya yang terasa kaku. Pandangannya kabur. Mungkin ini akibat Kent yang kurang istirahat dan kurang makan.

Pelan-pelan, Kent melangkah keluar kamar sambil sesekali berpegangan di dinding. Pandangannya masih berkunang-kunang. Kakinya terasa lemas. Kent diam sebentar di pintu, menyandarkan punggungnya selama beberapa detik sampai pandangannya kembali normal. Sementara di kamar sebelah perdebatan kedua orangtuanya semakin panas.

Kent menghela napas panjang. "Kesya, Kakak nyusul kamu aja ya?" gumamnya sendirian.

***

Keanna tau dia bukan sosok ibu yang baik.

Keanna juga tau dia bukan sosok istri yang baik.

Tapi, setidaknya dia masih bisa introspeksi diri dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki. Keanna bersyukur bisa mendapatkan maaf di akhir kehidupan putrinya yang selama ini dia abaikan. Meskipun itu sudah sangat terlambat.

Lain halnya dengan Kenzo. Ketika diberitahukan kalau Kesya meninggal dunia, jangankan bersedih, pria itu bahkan tidak pulang ke rumahnya sampai acara 7 hari selesai dengan alasan sibuk mengurus pekerjaannya di Belanda.

Namun Keanna tau, sangat tau, kalau bukan itu alasan mengapa Kenzo tidak pulang ke rumah. Melainkan Kenzo sengaja menyibukkan diri dengan simpanannya yang bukan hanya satu-dua. Setiap kali Keanna protes dengan kelakuannya itu, Kenzo pasti akan mengamuk dan mengungkit-ungkit kesalahan Keanna yang selalu mengabaikannya dan sibuk pergi ke sana-kemari.

"Kenapa kamu gak bisa ngerti sih, Kenzo?" Keanna mengusap wajahnya gusar. Air matanya sudah mengalir sejak tadi.

"Apa, Keanna? Apa yang gak bisa aku ngerti?" Kenzo berdiri di hadapan Keanna yang duduk menjeplak di lantai dekat pintu. "Apa yang perlu aku ngerti?"

Keanna memeluk lututnya mendengar nada bicara sang suami yang tidak bersahabat. Isakannya semakin jelas, bahunya bergetar hebat.

"Kesya ...." Jeda. Keanna terlalu sulit melanjutkan perkataannya. Kerongkongannya terasa sakit, bahkan untuk menelan ludah pun sulit. "Aku ada di sana," lanjut Keanna, mendongak, menatap wajah suaminya dengan pandangan yang buram karena air mata. "Aku ada di sana, Kenzo."

Dare or DareΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα