16. Demi Kesya

3.9K 189 10
                                    

Kent tiba di rumahnya pukul dua malam. Dia habis dari rumah Dion, main PS.

Ruang tamu rumahnya gelap gulita, seperti malam-malam biasanya. Rumah mewah ini terasa dingin, tidak ada kehangatannya sama sekali meski AC dimatikan.

Ketika Kent melewati sofa, tiba-tiba ruang tamu terang benderang. Parabotan mewah mulai dari sofa, meja, dan lemari kaca tampak jelas sekali wujudnya. Kent memicingkan mata, menghalangi cahaya yang masuk menggunakan tangan. Silau.

"Dari mana aja kamu makanya baru pulang jam segini?"

Kent membatu sesaat. Jantungnya berdetak cepat, kakinya mendadak dingin. Tangannya perlahan terkepal. Emosi yang dia pendam berbulan-bulan kembali ke permukaan ketika melihat sosok papanya berdiri tidak jauh darinya.

"Anak seusia kamu itu harusnya anteng di kamar, baca buku, belajar sebanyak-banyaknya. Bukan malah kelayapan gak jelas sampai dini hari. Atau malah kamu udah lupa sama alamat rumah kamu sendiri?"

Kent menggeratkan gigi, berjalan mendekati papanya, bersiap meninju wajah yang tak pernah muncul di rumah ini setelah tiga bulan lamanya. Sebelum akhirnya, suara lembut namun agak tegas dari arah sofa terdengar.

"Kakak udah pulang?" Wanita itu mengucek matanya. Ia tadi sempat tertidur sebentar, istirahat karena kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.

Kent menoleh, terdiam sebentar.

"Kamu dari mana aja, Sayang? Kok baru pulang jam segini?" Mama Kent berjalan mendekat, hendak memeluk tubuh sang anak, tapi Kent malah mundur satu langkah.

"Saya baru ingat alamat rumah, makanya saya baru pulang." Kent tersenyum hambar. Suaranya tercekat. "Wajar kan ya? Soalnya kalian juga lupa sama alamat rumah kan? Makanya baru muncul sekarang. Lucu banget ya keluarga ini? Bisa lupa loh sama rumah sendiri. Salut." Seringai sinis menjadi penutup kalimatnya.

"Kak, besok Mama sama Papa sudah mau berangkat lagi. Seenggaknya kamu—"

"Iya. Saya paham, saya ngerti, saya tau kalau kalian sibuk," Kent menyela. "Kalian pasti capek kan pergi ke sana-kemari demi ngumpulin uang banyak-banyak? Mending istirahat gih. Nanti meninggal kalau kebanyakan kerja."

"Kak—"

"Kamarnya ada di sana, kalau kalian lupa." Kent menunjuk pintu kamar dekat tangga. "Atau perlu saya anterin supaya gak nyasar di rumah super-duper luas ini?"

"Gak perlu," ujar Papanya dingin.

Kent mengangguk mengerti. "Ya udah. Kalau gitu saya ke atas dulu. Selamat malam."

"Tunggu dulu, Adhika. Ada yang mau Papa bicarakan sama kamu."

Kent menghela napas panjang, menahan emosinya yang meletup-letup. Dengan terpaksa, dia menatap sang Papa lagi.

"Papa dengar kamu habis mukulin anak orang. Siapa ya namanya? Fariz kalau gak salah." Papanya Kent bersidekap dada. "Benar kamu yang memukuli anak bernama Fariz sampai babak belur?"

"Iya, benar," Kent menjawab santai.

"Bagus! Kalau begitu buat apa kamu saya sekolahkan jika ujung-ujungnya malah jadi preman begini?"

"Gak tau deh buat apa." Kent menatap mata Papanya dengan berani. "Saya sih oke-oke aja kalau misalnya berhenti sekolah."

"Oh, oke kalau itu mau kamu. Besok-besok gak usah kamu pergi ke sekolah lagi." Papanya berujar enteng.

"Kenzo! Apa maksud kamu?" Mama Kent protes, tapi tidak diindahkan oleh suaminya itu.

"Oke," balas Kent tanpa beban. Cowok itu melangkahkan kakinya menuju tangga, ingin cepat-cepat ke kamar.

Dare or DareWhere stories live. Discover now