35. Tentang Kent Adhika

2.2K 178 29
                                    

Usai ditampar oleh cewek yang seminggu belakangan menjadi pacarnya, Kent mati-matian menahan malu ditertawakan oleh Viko dan Dion di kamar. Ini bukan yang pertama kali dia kena tampar perempuan, sering malah. Mantan-mantan pacarnya dulu selalu menampar wajahnya saat dia ketahuan selingkuh ataupun saat Kent dengan cuek mengajak putus. Tapi, sumpah demi kerang ajaib, baru kali ini Kent merasakan perih yang begitu menyayat di pipinya akibat ditampar perempuan. Dan baru kali ini juga Kent yang terkenal pintar, terdiam dikatai bego.

Kent segera menyusul kepergian Ellen karena muak mendengar tawa dari temannya yang membuat telinga sakit. Kent pikir perempuan itu sudah pulang naik taksi atau ojek. Rupanya dia masih di sini, sedang berpelukan dengan bi Surti yang menangis tersedu-sedu di sudut ruangan. Terimakasih, bi Surti!

Kent pun menculik Ellen, dengan alasan dia butuh tempat menangis juga. Padahal matanya sudah tidak sanggup lagi menangis.

Dan di sinilah mereka berada, di kursi yang tersedia dekat dengan kebun kecil yang ditanami rempah-rempah oleh bi Surti. Hari sudah mulai gelap, namun sejak tadi tidak ada yang membuka suara. Mereka berdua hanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Diselimuti dengan kecanggungan yang luar biasa pekatnya.

"Kent, gue sama Dion pinjem baju lo, yak? Males pulang." Viko tiba-tiba saja muncul, membuat Kent dan Ellen kaget setengah mati. Rencananya Viko dan Dion akan menginap, untuk sekadar bantu-bantu sekaligus mengobati luka-luka Dion lebih dulu.

"Iya, pake aja." Kent melambaikan tangannya, mengusir.

"Oke, sip." Viko menghilang dari balik daun pintu. Kent menghela napas panjang, menoleh ke arah Ellen. Cowok itu tersenyum ketika pandangannya bersirobok dengan Ellen. Sementara Ellen yang malu mengingat apa yang telah dia perbuat tadi, buru-buru memalingkan pandangan ke depan—ke deretan daun kunyit yang kelihatan segar.

"Kent!"

Kent lagi-lagi kaget mendengar suara Viko. "Apa lagi sih?" tanyanya keki.

"Mau minjem celana."

"Ya tinggal ambil aja apa susahnya, Viko Radyaaa. Di lemari gue itu banyak."

Viko mengacungkan jempol, lalu kembali masuk ke rumah. Tapi, kemudian ....

"Kent!"

"Apa lagi, anjir? Lo mau gue timpuk pake meja, hah?!"

Viko menunjuk langit. "Cuma mau bilang langitnya oren," ujarnya lalu cepat-cepat pergi ketika melihat Kent sudah akan mengangkat meja karena kesal.

Melihat interaksi dua cowok itu, Ellen tertawa pelan.

Kent menoleh, tersenyum.

"Viko katanya mau jadi psikiater," ujarnya, mencomot asal topik pembicaraan.

Ellen menoleh. Lagi-lagi pandangan mereka bertemu. Dengan cepat, Ellen memalingkan muka.

"Percaya gak kalau Viko itu bisa baca pikiran?"

Ellen menggeleng, namun mengingat kejadian di kamar Kent tadi yang seolah-olah Viko tau isi kepalanya, cewek itu mengangguk.

Kent terkekeh sebentar. "Dari dulu dia selalu aja tau isi kepala orang-orang. Dia juga tau kapan harus bertindak. Kayak contohnya tadi. Dia sengaja ngejebak gue di ilusi yang gue buat sendiri dengan pura-pura mau ketemu Kesya. Kampret banget tuh anak."

Ellen hanya menyimak.

"Dion juga gitu-gitu gak kalah dari Viko. Gue tau tadi dia sengaja mancing emosi gue, sengaja teriak-teriak, sengaja ngebuat badan dia jadi samsak. Dia tau kalau gue lagi nyoba mendem masalah gue sendiri lagi, dia maksa gue buat ngeluarin semuanya. Sok keren banget gak sih? Haha."

Dare or DareWhere stories live. Discover now