24. Teleponan

2.7K 171 11
                                    

Ellen menguap lebar melihat layar televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola. Itu pertandingan semi-final dan klub sepakbola jagoan Nauval unggul 2 poin. Skor sementara 1-3. Meski Ellen yakin pertandingan ini akan dimenangkan oleh klub jagoan Nauval, Nauval yang duduk di sampingnya masih saja serius menonton. Katanya, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di menit-menit terakhir.

"Ren, cowok tadi siang itu cowoknya Santi kan?" Nauval bertanya saat pertandingan sedang ditunda sebentar karena istirahat.

Kesal, Ellen menimpuk kulit kacang ke kepala Nauval. "Iya, itu cowoknya Santi!"

"Tapi, kok dia tadi bilang gak kenal Santi?"

"Lo bahas 'cowoknya Santi' sekali lagi, gue balik ke kamar nih!" Ellen mengancam.

"Lah? Kok gitu sih? Kan gue cuma nanya." Nauval kembali fokus ke layar televisi. "Kalau dia beneran cowoknya Santi, gue gak terlalu peduli. Gue cuma pengin tau aja, siapa sih cowok yang berani deketin adek gue? Emangnya dia udah nyetok nyawa berapa banyak?"

Ellen menatap wajah abangnya lekat. Kalau diingat-ingat lagi, dari dulu Nauval memang selalu begini. Dia selalu mencari tau info orang yang berani mendekati Ellen, baik itu cewek ataupun cowok, tua atau muda. Supaya nanti kalau ada dari orang-orang itu yang membuat adiknya sakit—entah itu fisik ataupun mental—Nauval jadi bisa menonjoknya tanpa salah orang.

Walaupun sering menyebalkan, Ellen akui Nauval adalah satu-satunya anggota keluarganya yang paling peduli terhadapnya. Nauval itu pengawal terkuat, dinding beton berduri yang kokoh, juga sosok kakak paling penyayang—minus kelakuan jahilnya. Kalau misal Ellen diminta memilih antara Haikal dan Nauval, tentu Ellen akan memilih abangnya yang menyebalkan ini.

"Makasih, Bang," Ellen bergumam pelan.

"Hah?" Nauval menoleh, pura-pura tidak mendengar jelas perkataan Ellen barusan. "Lo mau beliin gue ayam geprek?"

Ellen berdecak, kembali melemparkan kulit kacang. "Besok gue beliin deh, pake sambel matah kesukaan lo."

"Yess dapet ayam geprek!" Nauval nyengir lebar, menepuk-nepuk kepala adiknya, kemudian kembali menatap televisi. Ellen tersenyum tipis. Selintas, dia jadi teringat Kent yang suka sekali menepuk-nepuk kepalanya.

Saat Ellen sudah mau menatap televisi, getaran dari ponselnya yang diletakan di meja menarik atensi. Karena lampu ruangan sengaja dimatikan, Ellen jadi bisa membaca dengan jelas pop-up pesan yang masuk.

+6281278:
|Hai, Ell. Sv nomor gw yaaa [21.53]

Siapa? Ellen membatin heran. Tidak mungkin Biru. Soalnya Biru tidak pernah menyebut Ellen seperti itu.

Kemudian ponsel Ellen kembali bergetar. Pesan baru masuk lagi, dari nomor yang sama.

+6281278:
|Dion Prandelly. [21.53]

Eh? Kak Dion?

***

Pertandingan sepakbola sudah selesai. Klub jagoan Nauval menang dan lusa adalah pertandingan final. Akhirnya Ellen bisa rebahan di kasur kesayangan. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Ellen menguap.

Teringat akan pesan dari Dion yang belum dibalas, Ellen menghidupkan ponselnya. Ia segera mengetikkan balasan pesan. Tak lupa pula ia menyimpan nomor Dion.

Dare or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang