31. Dia yang Ellen Suka

2.1K 167 20
                                    

Risa Anderlina, atau sering dipanggil Riris, adalah seorang cewek tomboi yang pernah punya cerita dengan si peka Viko Radya. Berhubungan dengan Viko, tidak membuat Riris bisa membaca pikiran orang lain hanya dari raut muka seperti yang sering Viko lakukan.

Riris bahkan tidak tau harus apa ketika melihat Ellen yang hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi. Cewek itu pikir Ellen akan menangis karena kecewa hatinya dijadikan mainan. Tapi, reaksi Ellen benar-benar di luar dugaan.

"Ell, lo gak nangis?" Riris bertanya hati-hati.

Ellen menoleh, lantas menggeleng. Setelah itu pandangannya kembali lurus ke depan. Jawaban yang begitu singkat, padat dan dingin.

Selama berteman dengan Ellen, baru kali ini Riris melihat sikap dingin temannya. Riris agak merinding. Sekilas, aura yang dikeluarkan Ellen mirip sekali dengan Nauval.

"Eumm ... Ell." Riris memanggil pelan.

"Apa?" Kali ini Ellen tidak menoleh.

"Lo ... gak ada niatan ngadu hal ini ke abang lo yang sinting itu, kan?"

"Nggak." Ellen langsung menjawab. "Gue gak mau dia ngebikin anak orang koma lagi. Jadi, jangan kasih tau dia ya, Ris?"

Riris mengangguk paham.

"Nataaa!"

Ellen sempat memelankan langkah kakinya ketika mendengar teriakan khas dari belakang. Tanpa menoleh pun dia tau itu suara si prince Darma Bangsa—Kent Adhika. Sadar jarak Kent sudah dekat dengannya, Ellen mempercepat langkah kaki.

"Nat, tunggu dulu. Gue mau ngomong." Kent meraih pergelangan tangan Ellen agar cewek itu berhenti. Buru-buru Ellen menyentak tangannya. Membuat cengkraman Kent terlepas.

"Mau ngomong apa?" tanya Ellen tanpa menoleh ke belakang.

"Eh, Ris, lo bisa pergi duluan gak? Gue mau ngobrol berdua sama Nata." Kent bicara pada Riris yang ikutan menghentikan langkah kakinya.

"Kenapa Riris harus pergi?" Ellen memprotes sebelum Riris mengiakan. "Kalau mau ngomong ya tinggal ngomong aja, apa susahnya?"

Menghela napas panjang, Kent mengangguk. "Ok. Riris gak pergi," ucapnya agak kesal.

Kent memang bilang Riris tidak perlu pergi, tapi tatapan matanya yang menyorot tajam ke mata Riris sangatlah kontradiktif dengan yang dia katakan. Paham dengan maksud tatapan itu, Riris mengangguk.

"Ell, gue tunggu di koridor IPA 2 ya? Jangan lama-lama, entar kena amuk pak Heru." Riris menepuk punggung Ellen, kemudian segera pergi dari sana.

"Ris!" Ellen berseru, memanggil Riris karena tidak terima ditinggal. Riris tidak menyahut, cewek tomboi itu terus berlari.

"Nat, gue mau ngomong," ujar Kent saat melihat Ellen hendak pergi.

"Lo mau ngomong apa?" Ellen melirik cemas kepada awan-awan yang mendung. "Ngomong sekarang. Waktu gue gak banyak."

"Balik badan dulu."

"Gak. Udah nyaman begini."

Kent akhirnya memutuskan untuk berjalan ke hadapan Ellen agar bisa bicara sambil bertatap muka. Tidak enak rasanya bicara dengan orang lain tanpa melihat langsung wajahnya.

Ellen mendongak demi menatap wajah Kent. "Apa?" tanyanya terdengar jengkel.

"Lo ... suka gue ya?" tanya Kent hati-hati.

Tolol!

"Kalo gue gak suka sama lo, gue pasti bilang lo yang kalah. Nyatanya, gue bilang yang sebaliknya, kan?" ucap Ellen. Nyaris tak ada emosi di ucapannya. Datar.

Dare or DareWhere stories live. Discover now