8. Jaga Mata, Jaga Hati

5K 206 11
                                    

Kalimat Kent yang berulang-ulang mengatakan bahwa Ellen pacarnya membuat cewek itu jadi keki. Ellen menyentak tangannya yang digenggam Kent hingga terlepas. Dia membuka tutup botol alkohol kemudian duduk di samping Kent.

"Kan gue pacar lo, kan gue pacar lo! Palak lo kebentur tembok!" Ellen berseru galak. "Ini cuma sebatas dare, gak usah alay."

"Iya, awalnya dare, nanti jadi dear."

"Dih! Pd banget!"

Kent nyengir lebar.

"Coba lihat ke sini mukanya!" suruh Ellen galak. Kent menurut.

"Pelan-pelan ya, Pacar Kent," ujar Kent jahil.

Ellen berdecih. "Gak usah banyak bacot kalau gak mau gue bikin nangis!" ancamnya serius.

"Ow, ow, owww! Parah sih sampe mau bikin gue nangis. Nakal ya kamu."

"Cih. Elo tuh yang nakal! Ni buktinya!" Ellen menunjuk bagian muka Kent yang luka. "Lo tuh ya! Emang nakal dari lahir apa gimana sih? Gak jera apa dihukum sama pak Bambang?"

"Enggak, hehe."

Kent nyengir lagi. Tapi saat kapas di tangan Ellen menyentuh luka di tulang pipinya, dia meringis lantas memundurkan kepala.

Ellen tidak tinggal diam melihat pasiennya menjauh. Ditariknya daun telinga kiri kakak kelas itu, memaksa kepalanya kembali ke tempat semula. Sekarang ini Ellen sedang super duper kesal.

"Pelan-pelan atuh, Neng," ujar Kent, meringis lagi.

"Diem, jangan gerak-gerak! Lo sendiri kan yang minta obatin tadi?" Ellen melotot galak.

Kent akhirnya pasrah. Memang benar apa yang Ellen bilang, dia sendirilah yang meminta tadi. Jadi, Kent harus menerimanya dengan lapang dada.

"Nakal itu wajar, Nat," Kent menanggapi perkataan Ellen sebelumnya.

Gerakan tangan Ellen terhenti sebentar.

"Lagian, tadi yang nonjok duluan bukan gue. Fariz duluan noh," ujar Kent jujur. "Dia bilang gue ngehamilin adeknya masa? Padahal gue gak kenal loh sama adeknya. Ya kali sperma gue bisa—aw! Sshhh …  pelan-pelan dong, Nat! Perih tau!"

Ellen menatap tidak peduli. Dia sengaja menekan luka Kent karena tidak mau mendengar kelanjutan dari kalimat cowok itu.

Bisa-bisanya Kent santai sekali bicara hal yang tidak senonoh ke perempuan yang baru saja dikenalnya beberapa waktu. Kan itu bisa menimbulkan kesan yang tidak bagus, meski dari awal memang kesan Ellen terhadap Kent tidak ada bagus-bagusnya sama sekali sih.

"Gue baru tau tuh kalo yang namanya nakal itu wajar," Ellen berujar acuh tak acuh. Tangannya kini mensterilkan luka Kent yang ada di pelipis, dekat dengan alis.

"Ya iyalah lo baru tau, lo kan kudet," ejek Kent. Ellen melotot, Kent tertawa.

"Nih, coba bayangin SMA Darma Bangsa gak punya anak-anak nakal kayak gue. Pasti garing banget kan jadinya? Hambar kayak air putih. Terus pak Bambang jadi gak ada kerjaan deh. Makan gaji buta dia. Gak rela gue," Kent berceloteh.

"Idih!" Ellen tidak setuju dengan pernyataan dari Kent. "Pak Bambang itu kerjaannya bukan cuma ngurusin anak nakal doang, Pinterrrr. Banyak pekerjaan lain," ujarnya gemas.

"Gini deh, selama bisa nakal kenapa harus baik?"

"Heh, kebalik! Selama bisa baik kenapa harus nakal. Begitu seharusnya." Ellen mengoreksi.

"Fyi, anak nakal itu berawal dari anak baik."

"Idihhhhh! Gue kayak pernah denger kutipan semacam itu dari film."

Dare or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang