41. Yang Spesial

1.5K 140 16
                                    

Bahagianya Ellen itu sederhana. Cukup dengan menghirup udara segar di taman, menikmati angin sepoi-sepoi, menatap langit biru yang dihiasi gumpalan awan putih, juga makan makanan yang manis. Kalau semuanya dijadikan satu, lengkap sudah definisi bahagia dalam kamusnya.

Di bawah pohon rindang beralaskan rumput hijau, Ellen duduk sambil menikmati es krim ditemani Kent yang berdiri di sisinya. Mereka berdua baru saja selesai berkeliling kota. Tadi mereka mampir di taman bermain skateboard, di warung seblak, di BT, di Taman Kanak-Kanak, di SD, di SMP, bahkan di sekolahnya Nauval, dan sekarang mereka mampir di taman ini-taman yang selalu menjadi tempat bermain Kent dan Viko saat mereka kecil dulu.

Kent menatap lurus ke depan, ke arah bocah yang sedang bermain bola bersama sang Ayah. Tidak ada satupun gerakan ayah dan anak itu yang terlewat dari pandangannya. Terutama bagian ketika si bocah berseru-seru bahagia setelah berhasil menjebol gawang mini yang dijaga ayahnya. Kent tahu ayah dari bocah itu sengaja membiarkan gawangnya kebobolan hanya demi membuat anaknya senang. Semakin lama Kent menonton, semakin jauh pikirannya ditarik ke masa lalu.

Dulu, Kent juga pernah berada di posisi bocah itu. Tertawa terbahak-bahak dengan kebahagiaan yang dibuat orang tuanya. Pada masa itu yang Kent tau hanya main, main, main, dan main. Dia tidak memusingkan banyak hal, yang penting dia bisa main. Itu sudah cukup.

Sampai akhirnya Kent harus dihadapkan dengan dunia yang keras. Orang tuanya selalu bertengkar setiap hari. Kent tidak dibolehkan bermain lagi. Dia dituntut habis-habisan untuk belajar dan menjadi anak kebanggaan agar bisa menutupi aib keluarga ; papanya ketahuan punya simpanan. Lalu mamanya depresi. Dan adiknya tidak bisa berjalan seumur hidup.

Kehidupan Kent Kecil saat itu berubah dalam waktu sekejap. Tidak ada sepak bola, tidak ada balapan sepeda, tidak ada juga petak umpet. Yang ada hanyalah puluhan buku yang isinya harus dipahami bagaimanapun caranya.

Kent menggeratkan gigi, kesal karena masa kecilnya tidak menyenangkan.

"Kak!"

Kent tersentak. Kepalanya langsung menoleh ke asal suara. Matanya mengerjap kala melihat ekspresi sebal dari cewek yang memanggilnya. Ah, Kent lupa kalau Ellen ada di sini.

"Kenapa?" tanyanya seolah tanpa beban.

"Lo ngelamunin apa sih? Seru banget kayaknya sampe-sampe gak denger gue manggilin dari tadi."

Kent nyengir. "Abis ngelamunin masa depan," jawabnya, berbohong. "Gue penasaran, kira-kira kalau udah tua nanti rambut lo bakalan putih semua gak ya?"

"Jadi lo ngelamunin itu?" Ellen menggelengkan kepalanya takjub. "Gak penting banget tau gak sih?"

Kent tertawa sebentar. "Penting, Nat. Bagi gue itu penting. Lo kan spesial. Ada kursi di hati gue yang paling dalem khusus buat lo doang."

Ellen melotot lalu menabok kaki Kent. "Gombal!"

Kent tertawa lagi. "Tapi lo baper kannn?" godanya. "Tuh lihat tuh bibirnya gak bisa nahan senyum gitu. Ayo lepasin aja, jangan gengsi."

"Apa sih?" balas Ellen ketus, memalingkan wajahnya karena sudah tidak kuat lagi untuk menahan senyum.

"Cieee ... baper nih ye." Kent agak membungkukkan badannya agar bisa melihat wajah Ellen. "Pipinya sampe merah gitu loh. Gemes banget. Boleh gue gigit gak sih?"

Sekali lagi Ellen menabok kaki kakak kelasnya itu, kali ini lebih kuat. Kent ngakak meski kakinya lumayan sakit.

Setelahnya hening.

Ellen tidak bicara sebab masih kesal dengan Kent. Sementara Kent kembali menatap ayah dan anak di tengah taman.

Entah kenapa pundak Kent tiba-tiba terasa sangat berat. Dia tiba-tiba saja mengingat kembali semua kenangannya dan sang papa di masa lalu. Dulu papanya tidak seperti sekarang. Kent bahkan tidak pernah mengira kalau papanya akan mengkhianati Mama lalu satu per satu masalah berdatangan. Ia pikir keluarganya sudah cukup bahagia dan baik.

Dare or DareWhere stories live. Discover now