42. Kalau Gitu ... Ya Udah.

1.2K 122 36
                                    

Matahari sudah terbenam saat Kent tiba di rumah sehabis mampir di pemakaman Kesya, membawakan sebuah lollipop seperti yang biasa dilakukannya tiap minggu. Kent menidurkan tubuhnya di sofa dengan seragam yang belum diganti.

Kemarin setelah menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan jalan-jalan bersama Ellen, hari ini Kent disibukkan dengan latihan basket. Ada event basket pekan depan, berhubung anggota baru di ekskul basket masih banyak yang pemula dan kaku, anak kelas 12 jadi diminta untuk berpartisipasi juga. Terlebih lagi jabatan Kent sebagai ketua belum diturunkan. Jadi tanggungjawab ekskul basket ada di pundaknya. Kent mau tak mau harus menerima segala kesibukkan itu, sebagai risiko jadi ketua sekaligus hukuman karena dia sudah berkali-kali bolos latihan.

"Eh, Kakak udah pulang. Habis jalan-jalan sama Ellen ya makanya pulang telat banget?" Itu suara Keanna—nada bicaranya persis seperti nada bicara Kent ketika menjahili orang lain.

Kent memutar malas bola matanya. "Abis latihan basket," ujarnya lesu.

"Oh abis latihan." Keanna manggut-manggut kemudian memanggil bi Surti, minta diambilkan air minum untuk putranya yang tampak sangat lelah. "Omong-omong, kamu gak pernah bawa Ellen ke sini lagi deh, Kak. Kalian baik-baik aja kan?"

Sebelum menjawab pertanyaan mamanya, Kent menghela napas panjang. "Dari awal kami gak pacaran, cuman main-main doang. Yeah ... you know what I mean," ujarnya cuek.

"What?" Keanna mengerutkan alisnya. "Main-main ... maksud kamu kalian gak pacaran beneran?"

"Ya semacam itulah."

Kent merubah posisinya menjadi duduk ketika bi Surti datang membawa segelas air dingin untuknya.

"Makasih, Bi."

"Iya, sama-sama. Udah tugas Bibi ini mah," balas bi Surti ceria. "Eh, Den, gimana itu proses pdtk-nya? Lancar, 'nte?" tambahnya, agak berbisik.

"Pdkt, Bi, bukan pdtk," koreksi Kent, tersenyum geli.

"Nah pokoknya itu lah. Pdtk, eh, pdkt maksudnya."

Kent terkekeh sebentar, lalu meminum airnya sampai habis. "Gak lancar, Bi. Kakaknya jadi penghalang," ujarnya, meletakan gelas kosong ke nampan. "Ah bukan penghalang deng, tapi tantangan."

"Kakaknya galak ya, Kak?" Keanna bertanya, nimbrung obrolan anak dan asisten rumahnya itu.

"Galak sih enggak terlalu. Cuman terlalu posesif aja. Yahhh, namanya juga abang. Pasti mereka gak akan mau lah adik perempuannya deket-deket sama orang sembarangan, apalagi sama cowok gak bener kayak saya. Kalau Kesya masih ada, saya bakal gitu juga," Kent menjawab santai, "Ya gak, Bi?" tanyanya meminta pendapat.

"I-iya," jawab bi Surti ragu, takut salah bicara.

"Kakak kok ngomong begitu sih? Bibi juga ngapain iya-iya aja?" protes Keanna kesal. Bi surti menunduk dalam, mengucapkan maaf. Sedangkan Kent terlihat biasa saja. "Anak Mama bukan cowok yang gak bener! Kamu cowok baik-baik. Jangan asal nge-judge buruk diri sendiri," tambahnya.

Kent mengangkat bahu. "Papa selalu bilang begitu ke saya. 'Dasar anak gak bener, bisanya bikin masalah'. Gitu katanya."

Keanna terdiam sebentar. Baru sadar kalau selama ini dia juga sering berkata jahat kepada anak-anaknya terutama kepada Kesya.

"Ma-maaf, Nyonya. Sekali lagi saya minta maaf," ucap bi Surti segan. "Boleh saya kembali ke dapur?"

Keanna mendengkus sebal. "Sana pergi!" usirnya.

Bi surti langsung pergi ke dapur. Sementara Kent berdiri dari sofa, hendak pergi juga. Badannya terasa lengket dan gerah. Kent mau mandi dulu kemudian tidur, mengistirahatkan tubuhnya yang pegal-pegal semua.

Dare or DareWhere stories live. Discover now