38. Hutang

1.7K 140 10
                                    

"RUMAH SAKIT?!"

Seruan kaget dari Dion membuat Viko menunduk malu. Beberapa sepupu Kent yang sedang berada di sana menoleh penasaran. Viko menghela napas panjang. Jujur saja dia juga terkejut mendengar kabar bahwa Kent masuk rumah sakit. Untungnya Viko tidak bereaksi berlebihan seperti yang dilakukan temannya itu.

"Kok bisa sakit dia, Tan? Dia sakit apaan?  Harusnya kalau sakit kasih tau kita dong! Jangan asal ilang kabar gitu aja. Kalau perlu sebelum sakit tuh kasih tau kita dulu. Kita kan temennya. Kent jahat banget sih! Gak setia kawan!" Dion masih mempertahankan suaranya yang kelewat besar.

"Gak usah lebay, Iyooooon!" geram Viko berbisik. "Malu-maluin!" lanjutnya kesal.

Dion mendelik. "Lo itu bisa bedain khawatir sama lebay gak sih, Ko? Gue tuh khawatir sama keadaan Kent. Gue takut terjadi sesuatu yang enggak-enggak sama dia."

"Khawatir lo berlebihan," ucap Viko datar. Sedatar kertas HVS.

Viko mengalihkan pandangannya dari Dion. "Kent sakit apa, Tan?" tanyanya kalem dan lembut. Dia tersenyum tipis menatap wanita yang duduk di sofa seberang. Dapat dilihat dengan jelas wajah Keanna yang lelah. Sekilas Viko teringat ibunya.

"Dokter bilang dia kecapekan."

"HAH?! Kecapekan bisa masuk rumah sakit? Astaga! Kent lemah bang—aw!" Kaki Dion diinjak.

Pelakunya dengan muka tak bersalah tersenyum tipis menatap Keanna. Benar-benar bertingkah seolah dia tidak melakukan apa-apa. Dia sama sekali tidak memedulikan Dion yang meringis sambil menggerutu di sampingnya.

"Sakit anjirrr," bisik Dion kesal.

Viko tidak peduli. Dia justru memberikan pertanyaan baru kepada Keanna. "Kita boleh jenguk dia kan, Tan?"

Sejenak Keanna menghembuskan napas lelah. Bibirnya mengulas senyum getir mendengar pertanyaan dari Viko.

"Tante pribadi gak ngelarang kalian buat jenguk Kent. Justru Tante berterimakasih karena kalian peduli dengan Kent," ujarnya lembut. "Tapi, Kent lagi gak mau ketemu siapapun kecuali perawat atau dokter. Katanya dia mau me-time, buat nyembuhin fisik sama mentalnya."

Penuturan Keanna membuat Viko sadar kalau Kent benar-benar dalam kondisi yang buruk. Ditinggal oleh Kesya jelas sangat berdampak pada Kent. Memang saat terakhir kali dia bertemu Kent, cowok itu kelihatan sudah membaik. Kent tidak berhalusinasi lagi dan ngotot bilang adiknya masih hidup.

Namun, Viko lupa Kent itu jago akting. 

"Tante, kalau gitu kami pamit ke rumah sakit ya?" Viko berdiri sambil menarik kerah belakang seragam Dion agar temannya ikut berdiri. Setelah bersalaman dan mengucapkan salam, mereka pergi.

"Ishhh! Gue masih mau di sini! Banyak cewek cakep. Kali aja salah satunya jodoh gue." Dion berusaha melepaskan tangan Viko dari kerah seragamnya.

"Halah! Yang namanya jodoh gak akan ke mana, Yon. Cuman jodoh lo aja yang ke mana-mana. Makanya elo ngejomblo dari bentukan zigot!" ketus Viko.

"Jahat Anda!"

"Bodo amat!"

***

Tidak ada yang menarik. Tapi Kent betah berada di posisinya sekarang. Duduk bersandar di dinding kamar rumah sakit beralaskan lantai dingin sambil menatap langit-langit. Sudah dua jam dia duduk di sana, enggan berpindah tempat.

Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki yang mendekat disertai dengan suara yang begitu dikenalnya. Kent segera beranjak ke ranjangnya. Berbaring kemudian menarik selimut sampai membungkus seluruh tubuh. Dia selalu melakukan hal yang sama tiap kali tahu ada orang yang akan datang. Siapapun itu, kalau bukan perawat atau dokter, Kent tidak mau bertemu.

"Permisi." Itu suara Viko yang membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu.

"Beneran kamar Kent gak nih, Ko? Kalau ternyata salah kamar lagi gimana?" Itu suara Dion dengan kecemasan khasnya.

"Gak akan. Gue yakin ini kamar Kent. Tuh orangnya lagi ngumpet di kasur."

Dion berkacak pinggang menatap kepompong raksasa di atas ranjang rumah sakit. "Oi, Kent!" panggilnya setengah berteriak.

Tidak ada sahutan, kepompong itu bahkan tidak bergerak. Karena kesal, Dion akhirnya menarik selimut yang menutupi tubuh Kent lalu membuangnya ke wajah Viko. Itung-itung balas dendam sebab Viko tadi menginjak kakinya di rumah Kent.

"Ini dia orangnya! Lo kenapa bisa sakit sih, hah? Seorang Kent Adhika masuk rumah sakit gara-gara kecapekan? WTF! Apa-apaan? Lemah banget sih lo. Lagian lo udah sehat walafiat begini, ngapain masih di rumah sakit? Betah ya lo sama bau obat-obatan ini?" Dion langsung mengomel panjang tanpa jeda.

"Berisik!" ketus Kent, melirik tajam. Percaya atau tidak, itu adalah kata pertama yang Kent ucapkan hari ini. "Pulang sana! Gue mau sendiri. Jangan diganggu."

"Haaaaaa? Lo ngusir? Iya?" tanya Dion tidak terima.

"Iya. Kenapa?" balas Kent tidak minat.

"WOI! Lo kalo ada masalah tuh cerita ke kita. Jangan sok-sokan main dipendem sendiri. Entar lo gila kayak kemaren. Gue sama Viko gini-gini juga ada manfaatnya. Sesekali lo harus manfaatin kita juga, Kent. Minimal jadi tempat cerita, tempat lo ngelepas emosi lo."

"Enggak."

"Apanya yang enggak? Kalo ngomong tuh sampe selesai dong jangan sepatah-sepatah!"

Kent menghela napas panjang. "Gue gak ada masalah apa-apa, Yon. Gue cuma kecapekan aja," ujarnya berbohong.

"Halahhhhhh, bohong lo! Gak bisa lagi gue percaya sama lo setelah semua ini."

"Gak percaya, ya udah," balas Kent cuek.

Viko yang notabenenya adalah teman Kent sejak kecil menyeringai sambil meletakan selimut kembali ke tempat semula. Setelah bertahun-tahun mengenal Kent, Viko tau betul dengan sifat cowok itu yang sulit percaya dengan orang lain bahkan kepada temannya sendiri. Kent selalu memilih untuk memendam masalah  dan mencari cara mengatasinya sendiri tanpa minta bantuan orang lain.

Sesekali Kent juga pernah bercerita tentang masalahnya, namun tak sepenuhnya lengkap. Hanya potongan-potongan yang nilainya masih sangat kecil dibanding dengan masalah yang sebenarnya dia alami.

Kent orang yang tertutup.

"Kenapa nomor lo gak aktif?" tanya Dion setelah menyerah mendesak Kent untuk menceritakan masalahnya.

"Rusak."

Dion mengerutkan dahi mendengar jawaban yang ambigu. "Apanya?"

"Hp. Gue banting. Jadinya rusak," jawab Kent enteng.

"GOBLOOOOOK!" pekik Dion, "Hp seharga satu motor itu lo banting? Anjirlah! Mending lo kasih ke gue. Ah tolol!"

"Berisik lo! Diem!" ketus Kent. Dia merubah posisinya jadi duduk. Melirik ke sebelah kiri, Kent melihat Viko yang sedang makan jeruk dengan tampang tak berdosa. "Minta satu," Kent mengulurkan tangannya.

Viko langsung mengambilkan sebuah jeruk yang belum dikupas, lantas meletakannya di tangan Kent.

"Kapan lo mau sekolah lagi?" Viko bertanya.

"Entah."

"Jangan lama-lama mendekam di sini. Inget. Lo ada hutang sama kita berdua."

"Iya! Lo ada hutang sama kita berdua, Kent!" Dion menimpali.

"Ha?" Kent mengerutkan dahi, berhenti mengupas jeruknya. "Hutang apaan?"

"Lah malah lupa. Lo itu ada hutang sama kita Kent. Lo kalah taruhan."

Kent diam sebentar, lantas saat paham dengan maksud teman-temannya, cowok itu mengangguk.

"Ok, ok. Gue akui gue kalah kali ini. Gue pasti bayar hutang gue. Tenang aja." Kent menyuapkan jeruk ke mulutnya. "Tapi sebelum itu, gue mau nagih hutang dulu ke seseorang."

Viko dan Dion kompak mengerutkan dahi. "Ke siapa?" tanya mereka bersamaan.

Kent tersenyum lalu menjawab, "Ellen Rena Monata Bramantyo."

***

Ciee double up wkwk

Versi lama : 14 Juli 2020
Versi baru : 30 September 2023

Dare or DareWhere stories live. Discover now