44 - Reason In Fact

1.6K 101 30
                                    

"Oke, Stev. Gue akan kasih tau alasannya sekarang."

Icha menghela napas panjang lalu mengepalkan tangannya untuk memberikan kekuatan saat mengatakan ini. Mata Icha berkaca-kaca saat ini, entah mengapa ia tidak bisa menahan air matanya jatuh saat ini.

"Alasannya karena Indira sakit kanker darah, hidup dia nggak lama lagi, Stev. Mungkin satu minggu lagi dia bakal ke singapura buat pengobatannya, jadi dia bakal nggak di sini lagi," ucap Icha dengan tersenyum pedih.

Steven tertegun sejenak, masih berusaha mengerti ucapan Icha tadi.

Icha mengusap pipinya yang basah karena air mata dengan sedikit kasar. Namun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. "Gue harap lo bakal ngerti ini, Stev. Indira suka sama lo, dia pingin lo jadi pacarnya selama satu minggu ini. Setidaknya lo selalu bersama Indira tanpa peduliin gue, bahagiain Indira meskipun sesaat. Gue udah janji bakal buat dia deket sama lo, lo mau kan?"

Steven memandang kearah lain, lalu ia kembali menghela napas. Steven diambang kebimbangan, ia bingung ingin menjawab apa. "Gue nggak bisa, Cha. Gue nggak cinta sama dia."

"Stev, plis lo bahagiain Indira. Cuma satu minggu, nggak lama. Jangan peduliin gue, jangan anggap gue pacar lo lagi," ucap Icha dengan berat hati, ia kembali menangis.

"Jika gue sama Indira, apa lo bakal kuat lihatnya? Apa lo nggak sakit lihatnya?" tanya Steven dengan nanar. Ia kemudian menyeka air mata di pipi Icha lembut.

Icha kembali mengembangkan senyumnya. "Gue udah bilang, jangan peduliin gue. Gue nggak papa, gue bakal senang kalau Indira juga senang."

Steven tertawa pelan. "Lo yakin bakal kuat lihatnya?- Oke gue bakal sama Indira selama satu minggu ini tanpa peduliin lo atau mikirin lo."

Steven kembali menatap Icha dengan lekat. "Tapi inget ini, Cha. Hati gue tetep buat lo, dan cinta gue nggak bakal pindah ke orang lain. Gue sayang sama lo sampai seterusnya."

Tanpa aba-aba, Steven menarik Icha ke dalam pelukkannya. Icha membalas pelukan itu, terasa hangat. Semoga ini memang yang terbaik untuk Steven dan Icha sendiri. Mereka berdua larut dalam kesedihan dan hangatnya pelukan. Mereka berdua melepas pelukannya, kemudian Steven mencium puncak kepala Icha dengan hangat.

Icha sedikit terkejut, tapi ia merasa senang walaupun nantinya rasa senang itu akan tergantikan oleh rasa sakit.

"Gue pamit pulang, jaga diri lo baik-baik. Gue sayang sama lo," ucap Steven dan mengelus rambut Icha lembut.

Stevenpun mulai berjalan ke arah motornya dan melajukan motor pergi dari rumah Icha.

Icha tersenyum mendengar itu, lebih tepatnya senyum pedih. Icha menangis melihat kepergian Steven yang mulai menjauh dan hilang dari pandangannya.

"Gue juga sayang sama lo, Stev."

***

Malam harinya, Icha masih terbayang-bayang kejadian tadi. Mungkin pertemuaannya dengan Steven tadi adalah pelukan perpisahan sementara. Icha tidak boleh sedih lagi, ia harus tetap ingat kata-kata Steven tadi. Icha yakin ia akan kuat menjalani ini semua, meskipun berat.

Icha sedang duduk diranjang dengan kedua kaki yang diluruskan. Hari ini sungguh terasa melelahkan, entah itu termasuk hati dan tubuh Icha.

Tapi yang membuat Icha tersadar dari lamunannya adalah ponselnya yang bergetar karena ada notifikasi masuk. Icha cepat-cepat mengambil ponselnya, lalu melihat apa yang tertera di layar ponselnya.
Ternyata dari- Dani.

Ya, Icha selama ini jarang bertemu Dani, hampir tak pernah. Dani seperti sudah menghilang dari kehidupannya, tapi kali ini ia kembali menampakkan dirinya. Icha membaca perlahan pesan dari Dani, lalu ia tersenyum seperkian detiknya.

LOVE VIBESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang