46 - 𝐾𝑒𝑏𝑎ℎ𝑎𝑔𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑚𝑝𝑖𝑟𝑖

27.7K 1K 118
                                    

~Cinta dalam luka~

***

"Puput benar, aku bahkan masih ragu untuk menerima Mas Althaf kembali. Apa karena rasa cintaku terlalu besar untuknya? Ya Allah bahkan aku masih ragu dengan semua ini."

"Makan dulu ya!"

Tapi apakah semua perhatian Althaf selama ini masih dapat diragukan, bagaimana Althaf merawatnya dengan baik dan selalu memperhatikannya.

"kamu harus makan, supaya cepat sembuh."Ucap Althaf lalu dengan telaten menyuapi Shabiya.

"Tapi bagaimana kalau aku tidak sembuh Mas?"

Althaf menatap Shabiya, lalu menghembuskan nafasnya kasar.

"Kamu harus sembuh Shabiya, jadi makanlah dan berhenti bicara seperti itu."Ucap Althaf lalu kembali menyuapi Shabiya.

"Aku hanya berharap jika suatu hari nanti aku tidak bisa bertahan maka kembalilah bersama Hisqa."

Althaf menatap Shabiya tajam, lalu menghentakkan sendok makan yang sebelumnya digunakan untuk menyuapi Shabiya.

"Apa sebenarnya yang kau inginkan Shabiya, aku sudah melakukan semuanya, aku bahkan meninggalkan Hisqa hanya untuk bersamamu, apa semua itu belum cukup untuk membuktikan bahwa semua ini nyata bukanlah sandiwara."bentak Althaf.

"kamu tahu kalau sekarang aku sakit Mas, lalu kenapa kau ingin kembali dengan wanita sepertiku, sebelum semuanya terjadi pergilah bersama Hisqa. aku hanya takut kamu kecewa."lirih Shabiya, tidak bisa lagi menahan tangisnya.

"aku masih ingat dulu, ketika kamu memohon agar aku menerimamu sebagai seorang istri lalu aku menolaknya. Tapi kenapa? Sekarang Setelah aku telah menerimamu sebagai seorang istri kamu malah memohon agar aku pergi bersama wanita lain, katakan Shabiya aku bingung dengan semua ini?"

"Kau tidak memikirkan sebaliknya Mas. Seandainya semua ini tidak terjadi. Mungkin aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini karena penantianku selama ini akhirnya terbalas. Aku tidak tahu apakah kau juga telah membalas rasa cinta ku ini atau tidak tapi ketahuilah aku bahagia, sangat bahagia."Ucap Shabiya lalu meraih wajah tegas Althaf,memandang lekat lekat wajah suaminya yang juga menatapnya.

"Tapi kumohon jika memang ini keputusanmu, maka jangan kecewakan aku karena Aku tidak bisa menolak Ketika luka kembali lagi maka aku memilih hancur."

****

1 bulan?

2 bulan?

atau mungkin 3 bulan? Entahalah, aku merasa kebahagian mengahampiriku. Keraguan berangsur hilang. Aku melihat keseriusan dimata suamiku. Dan aku berharap semuanya akan baik baik saja. Batinnya.

Shabiya tersentak ketika merasakan tangan kokoh memeluk erat pinggangnya dari belakang.

"Mas aku malu."Ucap Shabiya pelan dengan wajah yang sudah merah merona.

"Kok malu sih, aku kan suamimu."Balas Althaf, bukannya melepaskan pelukannya tapi malah mengeratkan pelukannya di pinggang Shabiya.

"tapi banyak orang, itu ada Mama, Umi, Papa, Abi, Kak Azzam.." Althaf tersenyum simpul mendengar celoteh Shabiya yang menututnya sangat menggemaskan.

"Ih Mas lepasin. Kok malah ketawa sih."gerutu Shabiya dengan sebal.

"Abisnya kamu bikin Mas gemas."Ucap Althaf dan mencubit pipi Shabiya.

"Mas tetaplah seperti ini."gumam Shabiya pelan tapi masih dapat di dengar Althaf.

Althaf menghela nafas, perlahan membalikkan badan Shabiya tepat dihadapannya. Memandang wajah sendu Shabiya. Dengan wajah pucat. Perlahan Althaf menangkup kedua pipi yang dulunya Chubby tapi dekarang menjadi tirus. Sungguh ia menyesal telah menyakiti wanita sebaik Shabiya.

"Aku akan tetap seperti ini Shabiya, menemanimu, menjagamu sebagai seorang suami."Ucapnya.

"Apakah Mas berjanji?"Tanya Shabiya.

"Iya, mas janji. Asal kamu juga berjanji akan sembuh."Jawab Althaf sambil mengusap pelan kepala Shabiya.

****

"Mas ayo bangun, sudah pagi Mas gak berangkat ke kantor?"Ucap Shabiya berusaha membangunkan Althaf dari tidurnya.

"Bik Narti gak datang hari ini, putri nya sakit. Jadi ga mungkin Mas ninggalin kamu sendiri di rumah."Jawab Althaf lalu melangkah ke kamar mandi.

"Shabiya gak papa di tinggal sendiri di rumah. Shabiya bukan anak kecil lagi, jadi Shabiya gak bakal takut."Jawab Shabiya.

"Tetap aja Mas gak mau ninggalin kamu sendiri di rumah."sela Althaf lalu meraih handuk di tangan Shabiya.

"Kenapa?"Tanya Shabiya.

"Yah gak kenapa napa."Jawab Althaf membuat Shabiya kesal.

"Yaudah terserah Mas aja. Shabiya mau ke dapur buat sarapan."

"Mas bantuin ya?"tawar Althaf.

"Emang Mas bisa masak?"tanya Shabiya.

Althaf menggelengkan kepalanya membuat Shabiya hanya menghela nafas pelan.

****

"

Mas mau sarapan apa?"tanya Shabiya ketika sudah sampai dapur, dengan Althaf yang setia mengekor di belakangnya.

"Nasi goreng aja."jawab Althaf.

"yaudah Mas duduk di kursi aja, biar Shabiya yang masak."

"gak, mas mau bantuin kamu. Sekalian ajarin Mas Masak."

"Tapi kata Mama Mas jago masak."

"Mas udah lupa cara masak, lagi pula kamu istri Mas jadi kamu yang akan buat masakan enak untuk Mas."Ucap Althaf membuat Shabiya merona.

Shabiya kini memulai masakannya dengan Althaf yang setia membantunya mulai dari mengiris sayuran membantu Shabiya mencuci peralatan yang kotor. Ternyata Althaf bukan pria seperti yang di bayangkannya dulu. Batin Shabiya.

"Sini biar Shabiya aja. Mas duduk sana, ini masakannya udah matang."

Tapi Althaf menggeleng dan tetap kukuh ingin membantu Shabiya.

Melihat itu Shabiya hanya tersenyum tipis. Tapi Ketika ia ingin meraih gelas untuk di letakakannya ke meja tiba tiba penglihatannya buram dan Shabiya merasakan ada cairan yang mengalir dari hidungnya, Shabiya segera mengusapnya sebelum Althaf menyadarinya.

"Wah akhirnya selesai semua."seru Altahf senang dan menghampiri Shabiya.

"Ayo makan, Mas udah lapar!"ajak Althaf.

"Mas makan duluan aja. Shabiya mau ke kamar sebentar."pamit Shabiya.

"Mas ditinggal sendiri?"rajuk Althaf.

"Bentar aja kok Mas nanti Shabiya temenain Mas makan kok."tenang Shabiya.

"tapi suapin Mas ya?"

Shabiya mengangguk dengan senyum tipisnya. Ketika ia hendak beranjak lagi lagi penglihtannya menjadi buram, kepalanya semakin pening. Tapi Shabiya tetap melangkah mengabaikan rasa sakit di kepanya. Tapi usaha nya gagal ketika ia merasa telah ambruk.

****

Cinta Dalam LukaWhere stories live. Discover now