48 - 𝑅𝑎𝑠𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ

21.9K 846 106
                                    

~𝒞𝒾𝓃𝓉𝒶 𝒹𝒶𝓁𝒶𝓂 𝓁𝓊𝓀𝒶~

***

Altahf mengusap wajahnya kasar sembari menghela nafas kasar. mengingat terakhir kali pembicaraannya dengan Azzam semakin membuatnya pusing, bagaimana mungkin Azzam mengancamnya untuk tidak bersama Shabiya. Tidak, Athaf tidak akan membiarkan itu terjadi. Batin Althaf.

Tiinn..

Bunyi notifikasi menyadarkan Althaf dari segala perasaannya yang semakin berkecamuk.

segera ia membuka ponsel yang tergelatak di atas meja kerjanya.

"Hari ini aku kembali ke Bandung, bisakah kita bertemu di cafe siang ini. Aku sangat merindukanmu."

Althaf lagi lagi menghembuskan nafasnya. Ia berfikir kenapa Hisqa harus kembali disaat keadaannya menjadi rumit seperti ini.

Lalu apa yang akan di katakannya pada Hisqa? Apakah dengan mengakhiri hubungannya bersama wanita itu akan sedikit mengurangi rasa bersalahnya pada Shabiya. Jika itu memanglah benar maka ia akan melakukan agar Shabiya mau memaafkannya.

Tapi di sisi lain bagaimana dengan Hisqa? apakah wanita itu akan menerimanya dengan mudah ketika ia mengakhiri hubungan ini secara tiba tiba. Lalu bagaimana cara menjelaskannya? Sungguh Althaf sangat bingung dengan semua ini. Tapi di benaknya saat ini hanyalah Shabiya. Althaf ingin Shabiya sadar dan memaafkannya. Dan mungkin memulai semuanya dari awal. Ya hanya itu yang Althaf inginkan.

****

Althaf berjalan menuju kursi dimana Hisqa berada. Di sebuah Cafe yang sama mereka di pertemukan dan mungkin di tempat yang sama pula mereka berakhir. Tapi apakah semudah itu.

Althaf bahkan tidak mampu mengatakannya ketika menyadari tatapan wanita itu untuknya. Dimana Hisqa menatapnya penuh harapan dan senyuman itu, Semakin membuatnya terasa sulit.

"Akhirnya kau datang, aku sudah lama menunggu."Rajuk Hisqa sambil menatap Althaf sebal.

Sementara pria itu hanya bisa tersenyum canggung. Dan meminta maaf karena telah membuat Hisqa menunggu lama.

"Duduklah, aku sudah memesan makanan kesukaanmu."Ucap Hisqa sambil memperlihatkan senyum manisnya.

Tapi itu hanya membuat Althaf semakin gugup untuk mengatakan tujuan yang sebenarnya menemui Hisqa.

"Aku perhatikan dari tadi kamu hanya diam, apa ada yang salah? Atau kah kamu tidak senang dengan kedatanganku?"Ucap Hisqa menatap Althaf serius.

Althaf berdehem untuk mengurangi rasa gugupnya." Mengapa kamu berfikir begitu?"

Hisqa memutar bola matanya malas, ketika Althaf malah melempar kembali pertanyaan padanya. Ia bahkan tidak pernah melihat gelagat aneh dari pria di depannya ini.

"Aku merindukannmu, apa kamu juga merindukanku?" Ucap Hisqa, sambil menggenggam tangan Althaf.
menyadari itu Althaf segera menarik tangannya, membuat Hisqa menatap heran.

"Ada apa? Apa memang kamu tidak merinduakanku. Kenapa? Apa karena sekarang ada wanita lain yang sekarang ini berstatus sebagai istrimu?"

Melihat kemarahan Hisqa, Althaf menekan pelan dahinya. Bahkan Althaf belum mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Hisqa dan sekarang Hisqa sudah semarah ini hanya karena masalah sepeleh.

"Dengarkan ini semua tidak ada hubungannya dengan Shabiya. Dan maafkan aku karena sudah tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi denganmu."Ucap Althaf, memejamkan matanya hanya untuk tidak melihat bagaimana raut kecewa yang tergambar di raut wajah Hisqa.

Tapi menyadari tidak ada reaksi dari wanita itu membuat Althaf kembali membuka pelan matanya, dan hal yang pertama kali ia lihat adalah air mata, ya Althaf melihat air mata mengalir deras membasahi kedua pipi Hisqa dengan tatapan kosong.

Althaf memalingkan wajahnya. ia tidak mampu menyakiti wanita ini. Bagaimana pun Hisqa adalah wanita pertama yang membuatnya nyaman dengan keberadaannya.

"Apa kamu bercanda?"tanya Hisqa dengan tatapan miris.

"Aku tidak bercanda Hisqa, mungkin inilah keputusanku dan aku harap kamu bisa mengerti."jawab Althaf mantap.

"Apa yang harus kumengerti, kamu memutuskan semuanya dengan begitu mudah tanpa memikirkan bagaimana perasaanku!"bentak Hisqa dengan tatapan nyalang.

"Apa ini semua karena Shabiya? Apa wanita itu yang memaksamu melakukan ini padaku?"

Althaf menggeleng pelan."Shabiya sama sekali tidak memaksaku. Tapi setelah aku menyadarinya bahwa semua ini salah dan aku memilih untuk mengakhirinya karena kamu tahu aku adalah suami dari wanita lain."Jawab Althaf membuat Hisqa tidak bisa membendung air matanya lagi.

"Sangat tidak masuk akal, setelah kamu menolak Shabiya mati matian dan sekarang kami ingin menerima wanita itu dan membuangku seperti ini. Apa kau pikir aku sampah hah?"histeris Hisqa sambil menahan sesak, tidak habis pikir kalau Althaf akan melakukan ini padanya.

"Hisqa tolong mengertilah.."

"Tidak, aku tidak ingin mengerti dengan semua ini. Aku hanya tahu kalau kamu adalah pria kejam."Ucap Hisqa dengan tatapan mencemoh pada Althaf yang kini mentapnya dengan perasaan bersalah.

"Aku minta maaf."lirih Athaf.

"Pergilah, aku tidak ingin melihatmu."Ucap Hisqa pelan sambil menahan tangis.

Althaf menggeleng dan menolak meninggalkan Hisqa sendiri dengan keadaan kacau seperti ini.

"Aku bilang pergilah, pergilah dengan Shabiya istrimu dan tinggalkan aku disini sendiri. Lagi pula aku sudah terbiasa dengan semua ini. Semua orang meninggalkanku."kali ini tangis Hisqa pecah, mencoba memukul dadanya untuk mengurangi rasa sesak, disaat satu satunya harapan dalam hidupnya kini juga memilih meninggalkannya.

Tidak tega melihat kekecewaan wanita itu, Althaf segera membawa Hisqa ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan dengan Memeluk erat wanita itu, sebagai salah satu rasa permintaan maaf atas rasa bersalahnya.

****

Cinta Dalam LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang