1. Mom

30.8K 2.5K 33
                                    

*Dua bulan kemudian

Seperti biasa, pagi ini hanya ada aku dan ibuku duduk di meja makan sambil menyaksikan acara berita pagi. Sedikit aneh memang, kami menyimpan TV di dapur. Ya, karena hanya tempat ini yang bisa kami jadikan sebagai tempat aku dan ibuku bertemu. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jadi wajar saja jika kami hanya bertemu di saat mentari menyapa. Selanjutnya jarang, bahkan hampir tidak pernah.

“Brit, apa kau ada waktu luang?” tanya ibuku dengan serangan batuk yang kurang lebih sudah dua hari ini ia derita. Aku melirik ke arahnya yang sedang mengoles selai ke rotiku.

“Kurasa iya, setelah pulang kuliah.” Jawabku mengiyakan lalu mengambil rotiku.“Biar aku saja.” Ucapku, ia pun melepaskan rotiku. Kukira ia akan segera bersiap bekerja, namun ternyata ia memerhatikan setiap gerakan olesan rotiku. Ini sungguh aneh.

“Bu, kau tidak bersiap?” Ia sedikit terkesiap dengan pertanyaanku. Oh mungkin ia bukan memerhatikan olesan rotiku, tapi ia sedang melamun. Ia menatapku dan membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tapi ia menutup kembali mulutnya seolah tak ingin aku tahu. “Bu, aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu. Ceritalah! Kau tak ingin membuatku khawatir bukan?” Bujukku sambil meremas lembut tangannya yang ditaruh di atas meja makan. Ia tertunduk dan menghela napas.

“Kukira aku sudah tak sanggup bekerja, maksudku sementara ini Brit.” Tutur Ibu membuatku sedikit kaget. Setahuku Ibu adalah orang yang cukup gigih dan sulit gentar untuk menyerah. Aku yakin ada sesuatu masalah yang memang sedang menjalar di otaknya.

“Jadi, maksudmu—kau meminta aku untuk bekerja?” tanyaku berusaha mencari inti pembicaraan. Ibu menggeleng,

“Tidak seperti itu juga. Aku hanya berpikir kau harus gantikan pekerjaanku di kantor. Sementara ini Brit. Aku ingin memeriksa kesehatanku dan beristirahat. Kurasa aku sedang benar-benar tidak sehat, tapi sepertinya kau tak memiliki waktu untuk itu.” Terka ibu pesimis.

Mendiang ayahku adalah seorang polisi, ia mati dibunuh narapidana delapan tahun yang lalu. Meski kami mendapat tunjangan dari pemerintah, tentu saja itu belum cukup untuk membiayai pendidikanku. Uang itu hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari, tak jarang uang yang mereka beri pun kurang. Oleh karena itu ibuku berkeja, untuk membiayaiku. Kini hanya aku yang ibu miliki. Zac telah meninggal delapan tahun lalu menyusul kematian Ayah. Karena frustasi, ia mengikuti lomba balap liar dan ia langsung tewas di tempat dalam pengalaman balap pertamanya. Sungguh ironi bukan?

Cukup lama aku terdiam berpikir. Hingga roti di genggamanku sudah habis.

“Bu, kumohon jangan terlalu kaupikirkan. Minggu ini mungkin aku belum bisa karena ada ujian akhir di kampus, kau bisa mengambil cuti sebentar bukan?” tanyaku dan Ibu hanya mengangguk lesu. Oh aku benci melihatnya seperti ini—membuatku merasa menjadi anak yang tidak berguna. Aku menghampirinya, berdiri di belakangnya. Ia menoleh ke arahku saat aku mulai memeluknya dari belakang. Menyimpan kedua lenganku di bahunya dan bersandar manja. Aku tahu ini terkesan menjijikan untuk anak seusiaku, tapi aku benar-benar ingin membuat ibuku menyunggingkan senyumnya. Setidaknya untuk saat ini agar aku meninggalkannya, aku tak perlu diselimuti oleh rasa bersalah. “Nah, setelah ujian beres—aku akan menggantikan pekerjaanmu. Aku berjanji. Tolong... istirahatlah!” Pintaku. Ia hanya terdiam seolah merasa benar-benar tidak enak denganku. “Bu?” Aku menunggu responnya. Akhirnya Ibu kembali menoleh dan mengangguk. Oh betapa senangnya aku saat melihat Ibu tersenyum. Aku mengecup pipi keriputnya dengan lembut membuat Ibu melebarkan senyumnya.

Beep..

Beep..

Seketika aku menoleh ke sumber suara. “Oh kurasa Giselle sudah tiba Bu. Kau tidak apa-apa kan kutinggal sendiri? Setelah aku selesai, aku akan langsung pulang. Kau mau kubelikan sesuatu?” Cerocosku dan Ibu bangun dari tempat duduknya membuat pelukanku seketika terlepas. Ia menggeleng.

(TERBIT) Alter EgoWhere stories live. Discover now