11. His Name is Harrold?

22.5K 2K 31
                                    

Kami kembali ke kantor setelah Harry sama sekali tak mengizinkanku untuk berangkat ke kampus. Awas saja! Aku akan menyalahkannya jika nilai-nilaiku tak sesuai harapan.

Melirik ke arahnya aku bertanya, "Apa hubunganmu dengan Mrs. Humer? Kenapa kalian terlihat begitu dekat?" tanyaku membuat Harry lagi-lagi mengerutkan dahinya. Sepertinya dia akan terus melakukan itu jika ia sedang kebingungan atau bahkan marah. Ia menoleh ke arahku.

"Kenapa memang? Berhenti mengurusi urusanku." Timpal Harry. Ya, aku tahu! Jawabannya pasti seperti itu.

Aku menggeliat masih merasa pegal atas kejadian semalam membuat Harry secara terkejut melirik ke arahku. Tapi dia diam tak berkomentar, kupikir apa yang salah? Tapi itu adalah mimik favoritku dari Harry. Menurutku ia sangat tampan dan menggoda jika sedang melirik seperti itu.

Tak lama kami sampai di kantor. Harry berlalu meninggalkanku di belakang seperti biasa. Kedatangan kami juga disambut hangat oleh karyawan lain membuatku berpikir-kenapa mereka tak pernah masuk ke ruangan Harry? Maksudku-bukankah mereka memunyai segudang pekerjaan yang hampir semuanya harus melalui Harry? Mau itu tandatangan atau pun persetujuan. Kehidupan si bajingan ini memang membingungkan. Tak lama kemudian pun kami sampai di tempat kami. Harry terus melangkah ke ruangannya sementara aku sudah mulai berbenah membuat mejaku senyaman mungkin. Membersihkan dan merapikannya. Setelah itu aku duduk dan mulai membenarkan sendi-sendiku yang terasa sangat pegal. Leher, lengan, dan pinggang-semuanya pegal. Setelah itu aku menidurkan kepalaku di atas meja karena aku tahu Harry takkan memberiku tugas apa pun. Aku mulai memejamkan mataku dan beristirahat seolah tak puas telah tidur semalaman tadi. Aku sangat lelah, kelelahan.

***

"Brittany."

Aku merasakan seseorang membangunkanku. Lantas aku langsung bangun dan menegadah mencari wajah siapa yang mengganggu tidur pagiku?

Harry?

"Ya. Apa?" aku mendesah lelah masih memejamkan mataku setelah melihat wajahnya.

"Kau ini apa-apaan? Kau menjadikan kantorku untuk kaujadikan sebagai tempat mendengkur?" katanya spontan membuatku terperanjat.

"Apa aku mendengkur?" tanyaku panik dengan wajah yang memerah mungkin. Harry tersenyum puas dan menggelengkan kepalanya,

"Tidak!" ia menjawab. Aku mendengus kesal membuatnya semakin puas.

"Apa maumu?" tanyaku masih kesal.

"Temani aku." Jawabnya masih memerhatikanku.

"Aku sedang melakukan itu Harry." Timpalku.

"Ke dalam Brit! Ayo!" ia menegadahkan dagu ke arah ruangannya mengajakku. Aku tersenyum menyadari perubahan panggilannya padaku. Aku pun menurut mengikutinya.

"Baik-jadi semua ini soal apa?" tanyaku setelah sampai di ruangannya yang sangat-berantakan.

"Apa aku terlihat berantakan?" ia merentangkan tangannya memintaku untuk menilainya. Aku mendesah bosan dengan perlakuannya lalu mulai menanggapi keinginannya.

"Ya, sedikit." Aku mengangguk, ia pun mendesah.

"Aku benci jika sudah seperti ini." Gumamnya.

"Benci melihat dirimu berantakan?" aku menambahkan.

"Ya, karena dengan begini aku harus bercermin. Dan itu adalah hal yang paling kubenci." Katanya. Apa peduliku?

"Kau benci bercermin?" aku keheranan menatap ke arahnya penuh pertanyaan.

"Ya, jika sendiri. Jadi aku minta kau temani aku bercermin." Eh? Apa?

"Itu lebih terdengar sebagai nada ketakutan daripada tidak suka." Komentarku membuatnya sedikit kesal.

(TERBIT) Alter EgoOnde histórias criam vida. Descubra agora