13. Our Name

19.5K 1.9K 17
                                    

Hari semakin senja dan aku masih di sini—memandangi layar datar komputer yang hampa mencoba memahami semua kenyataan yang Harry berikan. Jika ada yang bertanya apa aku menyukainya? Ya! Aku sangat menyukainya. Ini semua gara-gara omongannya yang mengganggu logikaku—menyatakan ia menyukaiku adalah hal yang sangat gila bagiku. Karena itu aku merasakan sesuatu kini pada Harry. Aku suka wajah tampannya, sifat dinginnya, tabiatnya, semuanya. Ia sangat impresif di mataku. Merupakan tamparan keras bagiku ketika menyadari kenyataan bahwa bukan Harry yang mengatakan semua itu. Itu orang lain. Bukan dirinya! Kenapa aku begitu percaya diri hingga dia bisa menyukaiku? Itu gila!

Aku harus mengalihkan perhatianku pada sesuatu, agar tak terlalu memikirkan hal yang sangat tidak masuk akal ini. Setidaknya untuk beberapa saat saja. Lalu apa? Internet? Aku sedang tidak mood melakukan itu. Oke, mungkin game. Aku akan memainkannya, nanti juga mood-ku akan terbangun dengan sendirinya bukan?

Akhirnya aku pun membuka satu game horror. Entah apa namanya karena ditulis dengan bahasa Jepang atau semacamnya; aku tak begitu paham dengan semua itu. Saat aku akan membukanya, game ini diberi password. Sial! Aku menggerak kursor ke satu game action berjudul ‘Black’ ini. Dan hasilnya lagi-lagi sama. Kenapa semuanya dikunci? Apa Harry memang tidak membolehkan aku untuk setidaknya memunyai pekerjaan? Akhirnya kuputuskan untuk menebak-nebak apa yang sebenarnya Harry gunakan untuk mengunci fail-failnya. Mungkin…

‘Harry Styles’ Tidak. Gagal.

‘Harry Menezes’ Sama.

Oh aku tahu. ‘Harry Harrold’ Sial! Masih bukan.

‘Harrold Kendall’ Tidak juga.

Saat aku sedang memikirkan kata apa yang sebenarnya mungkin menjadi kata kunci, tiba-tiba saja komputernya mati. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya mengetuk-ngetuk layar yang mati secara mengejutkan. Sial! Apa yang aku lakukan?

“Apa yang kaulakukan?” Harry? Sial! Sial! Sial!

Aku terperanjat dan langsung berdiri menghadapinya yang terlihat marah.

“A-aku. Entahlah, tadi aku sedang mengerjakan sesuatu dan tiba-tiba saja komputernya mati.” Aku beralibi.

“Aku bahkan tak memberimu tugas.” Elak Harry. Aku mengangguk beberapa kali masih gugup. Terlebih perasaan yang kini tumbuh untuknya membuatku sulit berkonsentrasi jika sedang berada bersamanya. Menghadapi mata indahnya.

“Aku tahu. Maafkan aku. Apa komputernya rusak?” aku mencoba mencairkan suasana, tapi nampaknya itu tidak berhasil.

Hary melangkah ke mejaku untuk memeriksa komputernya. Ia menggeserku dengan menyentuh perutku membuatku terkesiap. Bahkan ia hanya menyentuhku seperti itu, ia bisa membuatku seterbuai ini. Ia mulai menekan tombol power namun tak ada yang terjadi. Aku menggigit bibirku. Merasa bersalah sekaligus bingung. “Kau mengotak-atik password-nya?” Harry menoleh dan mengerutkan kedua halisnya. Aku terpejam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk.

“Apa itu kesalahan fatal?” aku bertanya. Tapi Harry malah menghela napas panjang dan kembali ke layarnya. Melihat tak ada perkembangan, ia menepak komputernya dengan sangat keras membuatku seribu kali merasa bersalah. “Harry maafkan aku.” Kataku nyaris berbisik. Tapi lagi-lagi Harry mengabaikanku dan memilih untuk mengangkat telepon lalu menghubungi seseorang.

“Aku ingin kau ke sini dan periksa komputerku—aku tak mau tahu—ya baik!”

Ia mengakhirinya. Lalu mulai berbalik ke arahku. Menempatkan bokongnya di meja kerjaku dan melipat tangan di kedua dadanya.

“Kau ingin mengetahui semua urusanku?”

“Apa? Tidak! Aku hanya merasa bosan dan ingin memainkan beberapa games yang menarik. Tapi semuanya diberi password membuatku kesal. Aku hanya menerka-nerka apa yang sebenarnya kautulis. Itu saja, aku tak bermaksud yang bukan-bukan.”  Aku mengelak. Harry hanya menggeleng-gelengkan kepalanya kecewa.

(TERBIT) Alter EgoWhere stories live. Discover now