14. Whistle

19.5K 1.9K 26
                                    

Aku melangkah keluar meninggalkannya yang masih saja tertawa mengejekku. Siapa juga yang tidak kesal dikatai bernama jelek? Jika dari awal aku tahu kejadiannya akan seperti ini, aku takkan mau mencarikan arti namanya yang sial memang bagus. Kenapa juga ayahku memberi nama seperti itu? Apa maksdudnya dengan hutan yang kuat? Itu artinya semua keluargaku memiliki nama belakang yang sama? Hutan? Apa-apaan?

Segera aku duduk di kursiku lalu mengambil ponsel yang kuletakkan di dalam tasku, aku memanggil nomor rumah.

“Halo?” siapa ini? Oh—Christine!

“Chris, apa ibu baik-baik saja? Bagaimana keadaan rumah?”

“Oh kau Brit? Ibumu tadi pergi ke Rumah Sakit diantar oleh Niall. Di rumah semuanya sudah beres. Tadi aku ingin ikut bersama mereka namun Niall mencegahku. Ia bilang aku harus menjaga rumah.”

“Apa? Apa Ibu terlihat tidak baik-baik saja?”

“Oh dia baik-baik saja Brit. Ibumu bilang ia hanya akan memeriksa kesehatannya.”

“Apa ia pergi ke Saint Mary’s Hospital?”

“Entahlah Brit.”

Aku terdiam sejenak. Merasakan kekhawatiran yang teramat hebat saat ini. Apa aku harus menyusul dan memeriksa sendiri keadaan Ibu? Karena jika aku bertanya, lantas saja Ibu tidak akan membiarkanku untuk tahu. Tapi jika aku melakukan itu, Ibu pasti sangat kecewa padaku karena secara tidak langsung aku akan menunjukkan ketidakpercayaan padanya. Dan aku tahu Ibu paling benci ketika anak-anaknya melakukan itu. Itu kuketahui saat dulu aku dan Zac memergoki Ibu sedang berdua dengan seorang lelaki dan kami menuduhnya berselingkuh. Padahal itu hanyalah teman Ayah yang memang mencari Ayah untuk urusan mereka. Ibuku sangat murka dan aku tak pernah melihatnya sekacau itu. Ia bilang bahwa ia sangat benci jika dirinya tidak dipercaya. Karena dia adalah orang yang sangat jujur.

“Baiklah. Malam ini aku akan pulang.”

“Kau mau aku membuatkan sesuatu?”

“Ya tentu.”

Aku pun menutup ponselku. Menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata berusaha tenang dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak tentu kepastiannya. Rasa skeptis yang kini merasuki diriku membuatku tak dapat berpikir jernih. Bagaimana juga Niall bisa masuk ke dalam konspirasi seperti ini bersama Ibu? Bukankah ia selalu berada di pihakku?

“Brit, temani aku.” Aku mengendus kesal menyadari suara siapa itu sebenarnya. Aku menoleh ke arahnya yang sangat kusut. Kenapa lagi dia kupikir. Aku mengusap rambutku frustasi dan mengikuti perintahnya. Aku berjalan ke arahnya.

“Apa semua baik-baik saja?” simpatinya. Aku menggeleng pesimis dan masuk mendahuluinya.

“Apa yang kau ingin aku lakukan?” tanyaku.

“Aku ingin bercermin.” Dengan itu aku mengangguk dan membukakan pintu untuknya masuk. Aku mengayun tanganku mempersilahkannya masuk—ia mengangkat kedua halisnya. “Kau dulu.” Ucapnya. Tanpa banyak berpikir, aku langsung masuk ke dalam toiletnya yang berantakan. Berinisiatif, aku memunguti benda-benda yang berserakan di lantai sementara Harry tengah bersiap merapikan dirinya. Akan ke mana lagi dia malam ini? Aku membereskan barang-barangnya ke dalam kotak yang disediakan lalu memerhatikannya yang tengah menyisir rambutnya.

“Kenapa kau takut bercermin sementara kau tidak takut mandi? Kau akan tetap bercermin bukan melihat cermin yang terlalu besar seperti ini.” Aku bertanya menatapinya memunggungi cermin.

“Sebenarnya aku takut. Tapi masa iya aku harus memintamu untuk menemaniku mandi? Itu kan tidak mungkin? Apa jangan-jangan kau memang mau?” ia melirik lalu menyeringai ke arahku membuatku tersipu. Maksudku kesal. Kenapa juga aku harus menanyakan hal konyol semacam itu?

(TERBIT) Alter EgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang