19. It Hurts

18K 1.8K 44
                                    

Quidquid id est timeo paellas et oscula dantes!” lagi, ia berbicara asing. Aku mengerenyit tak mengerti maksudnya. Ia mau mengetes kebodohanku atau apa?

“Kau tak bisa berbahasa Inggris? Aku tak mengerti!” keluhku.

“Kau tak bisa menahan diri? Kau seperti pelacur! Oh tunggu! Pelacur mungkin lebih baik karena mereka dibayar. Sedangkan kau?”

“Harrold!!!” Ia menatapku nanar saat aku berteriak. Terlihat gejolak emosi yang begitu tersirat di matanya. Aku tak dapat membedakan, apa itu kecemburuan atau hanya sekedar rasa kesal yang tak berarti apa-apa. Yang pasti ia begitu terbakar. “Dia yang memulai!”

“Dan kau menikmati!”

“Tidak!”

“Lalu kenapa kau tidak melawan atau setidaknya berteriak!”

“Aku telah mencobanya! Tapi Liam terlalu kuat dan dia membungkam mulutku!” aku membalas membuatnya tertunduk. Kami saling terdiam. Hening dan tanpa suara.

“Aku tahu. Dia menciummu.” Suaranya memudar bergetar. Setahuku Harrold adalah pribadi yang keras, dingin dan tak peduli—mengingat cerita Harry tempo hari. Tapi melihatnya seperti ini, aku langsung memeluknya. “Menyingkir!!!” ia membentakku, aku terperanjat. Ia menghempaskan pelukanku dengan sangat kasar membuat hatiku hancur seketika. “Keluar!” ia menunjuk pintu mengusirku. Meski kutahu ia adalah Harrold, namun tetap rasanya sangat menyayat hatiku. Aku menunduk merasakan air mataku yang berjatuhan bebas tanpa permisi. Bahkan memeluknya pun aku tak berhak. Lalu aku ini apa?

Dengan langkah yang bergetar aku segera meninggalkan ruangan. Menatap kekasihku yang begitu terlihat asing—meski pada kenyataannya aku belum sepenuhnya mengenal Harry. Tapi itu bukan dia! Itu benar-benar bukan dia!

Aku membanting tubuhku ke atas kursi lalu bertumpu pada tangan untuk menopang kepalaku. Air mata sialan ini tak mau berhenti. Ia terus keluar! Rasanya begitu sakit. Diteriaki jalang, tidak dipercaya dan ditolak. Itu yang kurasakan.

Setelah sekitar lima belas menit aku sudah bisa mengeringkan air mataku. Aku hanya mengetuk-ngetuk ponselku berharap ada sesuatu yang bisa kulakukan dengannya. Tapi nyatanya tidak ada. Tidak ada telepon dari Ibu, Christine, Giselle atau Niall yang biasanya bisa beberapa kali meneleponku dalam sehari.

Tap…

Tap…

Tiba-tiba kudengar suara langkah sepatu ber-heels datang ke arah sini. Jangan! Kumohon jangan gadis itu! kumohon!

Aku menggigit bibirku kebingungan sekaligus ketakutan. Berdo’a dalam batinku semoga ini bukan seperti yang kupikirkan. Tapi nyatanya…

Ya! Gadis itu! Kendall.

Sebisa mungkin aku tak mengeluarkan air mataku di hadapannya. Ia memerhatikanku yang membuang muka darinya. Aku terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa Harry maksudku Harrold masih membutuhkan gadis itu. Aku begitu lemas dan tak berdaya bahkan hanya untuk menoleh ke arahnya. Aku menangis! Aku cengeng!

Dia bukan Harry! Dia bukan Harry! Aku terus memutar kata itu di otakku. Tapi yang malah kurasakan justru rasa sakit yang semakin merajalela di hatiku. Sakit! Begitu perih dan tak terkendali. Kepalaku pening dan aku tak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya setelah ini? Di ruangan itu! Di ruangan aku dan dia! Tolong hentikan!

Aku merunduk ketika menyadari Kendall sudah tak ada di hadapanku semenjak tadi. Aku berusaha memunguti serpihan hatiku yang pecah menjadi keping-keping kecil dan menyatukannya kembali semampuku. Tapi rasanya sia-sia.

“Ssshhh ooh Harrold!”

Aku memejamkan mataku dan menggigit lidahku sendiri berusaha tidak berteriak dengan apa yang sedang kudengar. Ini terlalu menyakitkan! Terlalu banyak menyita air mataku. Aku tak bisa menerima kenyataan yang terlalu pahit diterima ini.

(TERBIT) Alter EgoWhere stories live. Discover now