54. Sweetheart

12.6K 1.3K 169
                                    

“Aku pulang.”

Suara itu membuatku terkesiap kaget. Itu pasti Harry. Siapa lagi yang berani menyelinap masuk kecuali Tuan Tampan itu kan?

Aku keluar dan mendapati Harry sedang membuka sepatunya. Ia berdiri setelah merapikan sepatunya masuk ke dalam rak. Aku tersenyum, ia rapi sekali.

Harry menoleh ke arahku dan tesenyum tampan. Memerhatikanku dari atas hingga bawah.

“Tampak sangat pas di tubuhmu.” Harry memuji dan langsung menghampiriku.

“Kemejamu wangi.” Aku menerima sentuhannya yang ia taruh di pinggangku. Ia terkekeh geli saat mendengar pernyataanku. “Nanti aku ingin meminta deterjen dan sabun mandimu. Belikan aku ya?” rengekku dengan manja. Suara tawa Harry semakin besar. Kenapa? Dia pikir aku bercanda? Aku serius.

“Kau ini menggemaskan sekali sih.” Goda Harry sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. Aku mengerucutkan bibirku dan membereskan rambutku.

“Kau ini. Aku serius.” Keluhku.

“Aku tidak punya deterjen Cantik. Kau pikir aku mencuci sendiri?”

“Baik kalau begitu aku mau minta sabunnya saja.” Rengekku membuntuti Harry yang begitu saja melewatiku sambil mengendurkan dasinya yang terlilit sempurna di lehernya. Ia masih terkekeh sambil berjalan di hadapanku. “Harry! Jangan mengabaikan aku.” Aku menghentak-hentakkan kakiku membuntutinya. Harry akhirnya berbalik menghadapiku dan aku langsung mengerem langkahku karena wajahku sekarang benar-benar berhadapan dengan Tuan Tampan. Ia melingkarkan kedua lengan kekarnya di sekelilingku dan membuat tubuhku hangat dalam hitungan satu detik. Dasinya sudah terbuka, juga kancing kemeja sialannya sudah terbuka beberapa.

“Bisa kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan cengiran cabul. “Aku sudah tidak sabar ingin memanggilmu Sayang lagi.” Rayunya dengan satu jurus. Aku melemah dengan ucapannya. Tapi aku tidak akan mengizinkannya melakukan itu jika perutnya kosong.

“Kita makan dulu. Aku sudah masak.” Aku memutar tubuhnya dan mendorong punggung kekarnya dari belakang menuju dapur. Aku mendudukkan Harry di meja makan sementara aku masih menyiapkan makanan untuk kami berdua.

“Lihat jika kita tinggal bersama. Pemandangan ini akan aku lihat setiap hari.” Gumam Harry sambil terus memerhatikanku yang sedang sibuk.

“Jangan mulai lagi Harry.”

“Aku serius Brit.”

“Aku juga serius. Kau tahu aku memunyai tanggungjawab yang sangat besar. Ibuku. Seharusnya kau berterimakasih karena aku masih mau meluangkan waktu untukmu.” Petuahku. Harry menarik napasnya dengan sangat panjang menyatakan menyerah.

“Terimakasih.”

“Sama-sama.” Aku meletakkan makan siang Harry di hadapannya. Dia langsung menghadapi makanannya. Aku duduk di sebelahnya dan kami mulai makan. Aku melirik ke arahnya ingin mendapt pujian atau setidaknya gumaman ‘mmm’ dari mulutnya menikmati masakanku. Tapi tidak ada suara. Dia marah.

“Harry?”

“Mmhhh?” ia tidak melirikku sama sekali.

“Kau marah?”

“Apa aku berhak?” jawabnya dengan dingin.

“Harry, bukannya aku tak mau tinggal bersama denganmu. Hanya saja aku harap kaumengerti, aku masih harus mengurusi ibuku. Dia tidak sehat.” Jelasku dengan tenang. Ia sedikit tercenung. Aku juga sedikit aneh, tak biasanya Harry tidak pengertian seperti ini.

“Baiklah.” Ia mengangguk. “Bagaimana sekarang keadaannya?” tanya Harry dengan tulus.

“Niatnya besok aku akan mengantar Ibu ke Rumah Sakit. Karena tadi Ibu bilang ia masih lelah.” Deklarasiku. Ia mengangguk dua kali lalu meminum air putih segelas penuh. “Bagaimana dengan Lucy? Apa dia masih menjadi sekretarismu?”

(TERBIT) Alter EgoWhere stories live. Discover now