59. Mary Me? Fight Me.

12K 1.3K 62
                                    

Setelah selesai dengan meminta kontak Mrs. Humer, aku dan Harry terjebak dalam pikiran kami masing-masing. Aku sedang memikirkan apa saja yang perlu aku tanyakan pada Mrs. Humer. Apa Mrs. Humer tahu semua masalah Harry? Jika iya, apa dia tahu apabila Harry menyimpan sebuah pistol di kotak mainannya?

Mungkin aku harus bertanya mengapa Mrs. Humer menyuruh Harry untuk membeli novel seks? Oh iya aku jadi teringat sesuatu.

Melirik ke arah Harry, aku membuka mulutku.

"Sayang?" ia melirik ke arahku. Oh Adonis-ku melirik: itu adalah mimik terfavoritku. Baik, mungkin aku sudah berkata seperti ini beberapa kali. Tapi serius, dia sangat tampan saat ia melirik. "Apa kau sudah membeli novel yang Mrs. Humer suruh?" tanyaku padanya. Ia nampak berpikir sejenak.

"Belum. Aku tidak punya waktu. Aku hanya punya dua kehidupan sekarang; kau, dan pekerjaanku. Aku tidak punya waktu untuk membaca novel." Jawabnya dengan santai. Aku mengerut kedua halisku dengan jawabannya.

"Jangan begitu. Bagaimana jika itu menunjang untuk kesembuhanmu?" protesku.

"Kau tidak menerimaku?"

"Harry." Aku langsung memotong perkataannya. "Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kisah kita hanya ada kau dan aku. Tidak ada Harrold atau pun Kendall. Bukankah kau menginginkan hal yang serupa?" aku malah balik bertanya. Tapi memang itu lah maksudku. Jika aku tak menerima Harry, untuk apa aku bertahan sejauh ini?

"Aku mengerti." Jeda. "Tapi aku ragu. Harrold sudah ada sejak aku kecil. Aku tidak yakin Harrold bisa dikeluarkan dari diriku." Ia menggelengkan kepalanya pasrah.

"Kita tak boleh berhenti berharap. Aku akan membantumu. Buktinya ketika kau membutuhkan Harrold, aku bisa mencegahnya. Aku juga bisa membuat emosimu lenyap tanpa perantara Harrold. Aku yakin ia bisa keluar; itu pun jika ia benar-benar nyata." Singgungku. Harry tidak menjawab. Kami kembali terjebak dalam keheningan.

Aku takut ucapanku menyinggungnya. Aku hanya ingat betapa Harry benci jika ada seseorang yang meragukan keberadaan Harrold. Aku tak bermaksud tidak percaya padanya aku harap ia mengerti itu.

"Berjanjilah kau takkan memikirkan masalah tadi." Harry menatapku dengan prihatin mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mungkin? Aku menoleh ke arahnya yang sangat tampan itu. Aku mengerenyitkan dahiku tak mengerti. Masalah yang mana? "Masalah mom-ku." Oh.

"Aku janji." Aku mengangguk dan membelai wajahnya untuk menenangkannya. Dengan cekatan Harry menangkap tanganku dan mencium punggung tanganku sambil memejamkan matanya seolah yang ia hirup adalah minyak surga.

"Aku sangat mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun untuk dapat bersamamu. Jadi yang tadi itu bukanlah masalah yang besar. Aku yakin aku bisa menanganinya dan tak perlu kau khawatirkan." Ia terus-menerus mengingatkanku untuk tidak memikirkan hal tersebut seolah aku ini adalah anak kecil yang perlu diperingati beberapa kali.

"Sebenarnya kau yang terlalu khawatir padaku Hazz." Aku cekikikan saat memanggilnya dengan sebutan itu. Ia ikut tertawa; entah untuk kenyataan ia terlalu khawatir, entah karena aku memanggilnya Hazza.

Belokan terakhir mobil akhirnya menjumpai halaman rumahku. Harry mematikan mesin mobilnya dan menoleh ke arahku dengan wajah yang amat kelelahan.

"Kau masuk?" tanyaku. Namun Harry tak menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan yang kulontarkan. Ia malah menatapku-dengan sangat dalam. Aku menunduk malu akibat tatapannya yang menuntut kepemilikan. Kenapa aku harus malu ditatap pacarku sendiri?

(TERBIT) Alter EgoМесто, где живут истории. Откройте их для себя